Showing posts with label OPINI. Show all posts
Showing posts with label OPINI. Show all posts

Thursday, February 5, 2015

MENGGUNCANG KESADARAN PENDIDIKAN INDONESIA

MENGGUNCANG KESADARAN PENDIDIKAN INDONESIA

Hugo D G Indratno


Ki Hadjar Dewantara dengan semboyan “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” begitu mengakar pada setiap insan Indonesia khususnya insan pendidikan Indonesia. Sering kali semboyan ini diartikan bahwa seorang guru hendaknya memberi teladan, kemudian membangun semangat belajar dan pada akhirnya memberikan motivasi bagi siswa-siswinya. Sebatas itukah pemahaman dan perwujudan kita semua terhadap semboyan luhur tersebut?

Selaras dengan semboyan Ki Hadjar Dewantara yang begitu menginspirasi, seluruh bangsa ini tentunya berkeinginan untuk mewujudkannya. Namun, apa yang kita lihat dari tahun ke tahun adalah pencideraan dunia pendidikan ini oleh banyak individu. Secara tegas, saya mengatakan di sini bahwa pencideraan dilakukan oleh individu. Akan sangat naif apabila kita saling menyalahkan antar lembaga karena semua lembaga yang berkaitan dengan pendidikan, bertujuan untuk memajukan pendidikan, bukan mementahkannya.

Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara, SJ mendefinisikan pendidikan sebagai “Pemanusiaan Manusia”. Jelas sekali bahwa pendidikan adalah milik manusia.  Pendidikan ada dan akan tetap ada sepanjang manusia hidup dengan atau tanpa sebuah pemerintahan. Pendidikan hendaknya menjadi milik bangsa, bukan milik pemerintahan. Dengan kata lain, pendidikan adalah menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya institusi pendidikan dan pemerintah. Tanggung jawab bersama di sini berarti seluruh lapisan masyarakat karena semuanya mempunyai kontribusi dalam pendidikan baik itu secara formal maupun non formal.

Penataan pendidikan di Indonesia sering digunjingkan sebagai satu musim yang datang silih berganti. Secara pribadi saya melihat bahwa kebijakan yang tentunya dibuat untuk kebaikan, namun kebijakan yang dibuat sering disalahgunakan demi kepentingan beberapa individu. Sungguh suatu keprihatinan ketika beberapa pihak saling menyerang atas kebijakan yang dibuat. Saling menyerang bukanlah satu penyelesaian. Pembuat kebijakan pendidikan di Indonesia sudah saatnya menata diri sendiri tidak bergantung pada rezim ataupun terintervensi oleh kepentingan individu atau kelompok yang ada di lembaga tinggi negara.

Melihat Kail, Bukan Ikannya dan Mimpi-Mimpi

Beberapa tahun terakhir, pemerintah membuat satu kebijakan untuk mengembangkan kualitas pendidik dengan program sertifikasi pendidik. Sebagai satu kebijakan, tentunya ada satu tujuan yang baik untuk dicapai. Banyak pertanyaan yang kemudian muncul di benak ini, salah satunya adalah, apakah para pendidik benar-benar ingin mengembangkan kualitas profesi mereka sesuai kebijakan yang diluncurkan?

Di tahun 2012, saya mengikuti Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang menjadi satu prasyarat untuk mendapatkan sertifikasi guru. Secara pribadi, saya melihat ini sebagai satu proses penyegaran dan penyadaran kembali pada tanggung jawab profesi dan panggilan. Dalam PLPG, saya melihat satu semangat dari pemerintah, dengan segala keterbatasannya mengurus sekian juta guru, untuk menuntaskan amanat UUD 1945 mengenai mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan bangsa yang cerdas, tentu  pengajarnya juga haruslah cerdas.

PLPG oleh beberapa pihak dipertanyakan keefektifan dan kebermanfaatannya. Dalam benak saya, sewajarnya, para pendidik yang telah mengikut PLPG turut mempertanyakannya sebagai bentuk refleksi profesi. Sementara posisi pemerintah, sudah selayaknya juga melihat ke lapangan, apakah yang telah diperbuat memberi efek domino ataukah sekedar menjadi satu kegiatan “hit and run”, atau “sekali berarti, sudah itu mati” - meminjam selarik puisi berjudul “Diponegoro” karya Chairil Anwar.

Apabila PLPG sebagai satu pelatihan telah menginspirasi banyak dari peserta untuk membangun refleksi profesi, maka hingga saat ini paling tidak ada reaksi dari para guru sendiri dan sistem pendidikan dalam pemerintahan. Reaksi yang saya harapkan masih saya impikan. Saya memimpikan adanya satu kerjasama (networking)  mandiri guru-guru yang saling bertukar pikiran, saling berbagi inovasi mengajar yang telah mereka praktekan. Saya memimpikan kebebasan berkumpul untuk berinovasi yang tanpa harus mendapat restu dan supervisi dari pejabat pendidikan. Mimpi saya mungkin akan semakin terang benderang apabila para pejabat pendidikan mendorong suasana kondusif untuk hadirnya banyak kelompok mandiri, bukan karena keterikatan dinas yang selama ini terjadi, melainkan karena keinginan untuk maju bersama dalam pendidikan.

Saya teruskan mimpi-mimpi saya. Saya bermimpi ketika kerjasama mandiri telah dilakukan oleh para guru, maka pembelajaran yang terjadi di dalam kelas akan lebih bervariasi. Apakah mimpi itu bisa terwujud? Tentunya mimpi-mimpi itu bisa terwujud apabila kita mulai bangkit, berdiri dan berjalan mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Saya punya mimpi dimana para guru membangun komunitas mandiri yang saling bertukar pikiran tentang pembelajaran yang mereka lakukan di kelas. Pembelajaran yang mereka pilih dari sekian kali pembelajaran yang mereka lakukan untuk mendapatkan formula yang tepat dan inspirasional bagi siswa-siswinya. Guru adalah manusia biasa yang penuh jatuh bangun dalam menjalankan pembelajaran di kelas. Namun begitu, saya yakin bahwa seorang guru selayaknya bangga akan pembelajaran yang mereka bangun berdasarkan pembelajaran bertahun-tahun yang berusaha mereka sempurnakan disesuaikan dengan karakter dan jaman dari siswa-siswinya.

Pada akhirnya, seorang guru tidaklah bisa berhenti. Ia harus turut berputar seiring berputarnya roda jaman. Ia harus bisa berpikir menggunakan pola pikir anak didiknya. Bagaimana seorang guru bisa berkembang apabila ia menolak untuk berkembang? Marilah, dengan segala keterbatasan manusiawi sebagai guru dan individu, kita melihat cakrawala di mana kelas itu tiada batasnya.

Namun ada satu hal yang patut kita camkan, Anda semua adalah guru. Hal ini tidak terbatas karena Anda mengajar di kelas, tapi karena Anda adalah orang tua yang mendidik anak-anak di keluarga, karena Anda menularkan kebiasaan baik di jalan, di tempat kerja maupun di manapun Anda berada, karena anda memberi perhatian pada mereka yang membutuhkan dan karena sejuta alasan di mana kita semua memberi teladan di depan mata mereka, membangkitkan semangat belajar  ataupun bekerja dan mendorong dengan motivasi tidak hanya bagi siswa-siswi tapi juga semua orang di sekitar. Ingatlah, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani!

April, 2013

Hugo Indratno
Pendidik

Tuesday, June 4, 2013

KOMPAS 22 April 2013 "Saya Ingin Jadi Penguasa"


Setelah tulisan saya menyebar di blog, majalah dan tabloid nirlaba, tampaknya harian KOMPAS menilai tulisan saya cukup aktual untuk dimuat. KOMPAS memuat tulisan ini pada tanggal 22 April 2013. Kebetulan dekat-dekat dengan tanggal itu, saya berulang tahun. Sepertinya, ini adalah "kado" ulang tahun buat saya. Terima kasih KOMPAS!
Selamat menikmati!


salam,


H

Sunday, October 7, 2012

ARE WE WISE OR FATALIST TECHNOLOGY USERS?



Hugo D Gunawan I
Language Advisor: Frances Hazle

“The technology development drives people into two mainstreams:
wise and fatalist users”.

It’s a common thing now in big cities in Indonesia, to see a 7-year-old children play with a sophisticated handheld. The words: pad, tab, touch screen, swipe, wifi, online and many other technological words, are often heard from our children’s conversation. The rapid changes of technology cannot be avoided. In line with the rapid changes of technology, the mid level society in Indonesia is massively growing. 

The phenomenon of positive growth of economics in Indonesia has been predicted. This phenomenon triggers some changes in many aspects such as life style, education and living cost. Life style is mostly related with technology changes. The closest example is the technology exploration on handheld. The handheld that we knew before was mostly for calling and texting. Unavoidably, the technology has had to touch up the handheld we use today.

The changes in our handheld consist of the colored screen, integrated camera, more capacity for text characters, multimedia service (MMS), integrated music player, touch screen, internet access,  etc. , you name it. It seems that the new products bring a lot of changes that users cannot resist having. The unbearable resistance to have the latest technology is triggered by the growth of social media that have been integrated to the Internet bundling within the handheld.

As most of us are in mid level society, the impact of this technology growth does exist. Our kids are whining to have the newest product from Apple or Samsung i.e. iPhone, iPad, and the MacBook series for Apple, and Galaxy series phone and Galaxy Tab as the iPad competitor. We cannot cover our ears when husband or wife also argue with each other about how important it is to have iPad to support their work.  At the end of the day, we should be honest with each other, is it for work or life style? Are we insisting on following the latest technology fad for recognition?

The technology development drives people into two mainstreams: wise and fatalist users. The reason behind our motivation in keeping up with the latest technology offered by all gadgets is questionable. Unfortunately, we can “pull our brake” while our kids cannot. It is not because our kids do not have self-control. It is mainly because they belong to this technology era and have not reached maturity in deciding what is best for them. They can stare at their gadgets for hours and try all applications while adults like us worry too much about spending more money to fix the gadgets supposing they are broken.

How can we keep up with what our kids know? To be honest, there’s no other way than dedicating our time to learn what they know from them directly. Most of us think that we are too busy to sit and learn the games that our kids are playing. Or worse, most of us think that we are too old to know such things. Even worse, most of us think that what they are playing are useless. The willingness is the key. The rest is time dedication and management.

“Getting involved in educating and nurturing within 21st century education
is not only school responsibility but also parents’ ”

The best thing that we will get when we are spending time with our kids is a better family relationship. There are three things we will have. First, we will be able to justify and influence our kids in choosing and valuing the right games. Second, we will be able to facilitate our kids to think naturally. The last, we will be able to operate new things in our golden age!
The positive impacts are more dominating than the negative ones. Once again, we should sacrifice our time though.

The use of technology is also widely misused by our kids. The boredom, peer pressure and addiction are some reasons technology misuse. Rules have been introduced at home and school to minimize the tendency of misusing. The best part of anticipating this technology abuse should be coming from the users. At this point, basically, it is personal calling to know whether the users want to be wise users or fatalist users. Covering as the shield for personal calling will be the maturity. How do our kids get their maturity? They get their maturity from their families and environment. Remember, we raise our kids with the consideration that their maturity meets the age and is at the right time.

The wise users will consider cutting the word fun into two categories, which are fun to help, and fun to use. Fun to help, of course, the users know that the gadgets offer a lot of fun to help users open their mind. On the contrary, the fatalist users will think that the gadgets are fun to use. Addiction is going to be the result. To be wise or fatalist users, you do not need be kids, adults might do a similar thing. Therefore, the role of parents and teachers in building wise users is critical.

There are a lot of ways to guide users into becoming wise users. The technological gadgets are in trend putting educational games to help our kids to learn academically. Adults will need to make an effort to select and apply these educational games. At this point, educational games cannot always become an oasis to rely on. Addiction is another result for fatalist users. It is kind of funny to hear that the kids are addicted to educational games and cannot put their gadgets away.  Therefore, knowing the right time and the timing will be of great help. 

Getting involved in educating and nurturing within 21st century education is not only school the responsibility but also the parents’. As it was mentioned in the beginning of the article, the impact of the economic growth is in symbiosis with almost all technological aspects in our lives. That is why it is important for us to know how technology is used in different perspectives among generations. Otherwise, we are going to raise fatalist technology users. To be honest, we don’t want to end up in such a situation, do we? Being parents and teachers in this technological generation is not an easy thing to do. As there’s no institution running educational session to prepare one as parents, we, as parents are required to be committed in paving the way for the success of our kids. In conclusion, I would like to quote what people often say,” no pain, no gain”.


Hugo D Gunawan I is currently Tunas Muda International School Secondary Coordinator and an IB Asia Pacific PYP Bilingual Workshop Leader. He also writes his ideas at http://guruhugo.blogspot.com


References:

·      Booklet Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Agustus 2012 Badan Pusat Statistik, ISSN: 2085.5664 Publication Number: 03230.1203
·      Boss, Suzie. Edutopia: A Parents Guide to 21st Century Learning © 2012 The George Lucas Educational Foundation

Monday, September 10, 2012

GURU BERPRESTASI

"Ketika prestasi guru diterjemahkan dalam suatu penilaian 
maka peran agen perubahan itu gugur"

Beberapa kali saya membaca berita tentang guru berprestasi. Dalam benak saya, terlintas kekaguman setelah selesai membaca berita-berita tersebut. Kekuatan berita itu sungguh membuat saya terkesiap dan berkata pada diri saya sendiri,"Benar-benar hebat mereka ini."
Namun begitu, setelah mengalami pengendapan beberapa saat, saya mulai tergelitik oleh beberapa pertanyaan. Salah satunya adalah, apakah mereka yang tidak 'terjaring' dalam kategori berprestasi itu tidak berprestasi? Semoga saja tidak.

Salah satu peran guru dalam masyarakat adalah sebagai agen perubahan. Dengan pengajaran yang diberikan, para guru bisa memberikan visi menjadi misi pada anak-anak didik mereka. Sebuah tatanan masyarakat akan sangat timpang tanpa kehadiran guru yang memberikan pengajaran ilmu hidup, melengkapi apa yang generasi muda dapatkan dari rumah.

Saya secara pribadi lebih mengagumi para guru yang mau bekerja di pelosok negeri ini tanpa punya pretensi untuk dikenal. Beberapa kali saya mendapatkan profil para guru yang bekerja di pedalaman penjuru negeri ini selama bertahun-tahun. Saya sebagai pribadi dan sebagai seorang guru merasa malu untuk mengatakan bahwa saya adalah guru yang hebat dan berprestasi. Karena apa? Karena ketika prestasi guru diterjemahkan dalam suatu penilaian, maka nilai kita sebagai agen perubahan itu akan gugur dengan sendirinya. Selayaknya, penilaian guru berprestasi dilihat dari ketulusan pengabdian yang dilakukan dalam keterbatasan dan dilakukannya penilaian benar-benar tanpa satu panggung ujian pengumpulan berkas-berkas pendukung yang tinggal gaung.

"Penghargaan itu tidak selalu berkaitan dengan uang dan publisitas"

Secara pribadi, saya mengenang ketokohan para guru saya di masa lalu. Saya begitu mengagumi Ibu Wati, guru saya di kelas 1 SDN Kesdam IV Diponegoro yang begitu enerjik mengajar kami dalam jumlah besar. Saya mengagumi beliau yang dengan detil melihat kekurangan dan kelebihan kami. Saya juga mengagumi bagaimana beliau mengespresikan kesedihannya ketika memang ada satu atau dua siswanya yang harus tinggal kelas. Penghargaan setinggi-tingginya saya berikan kepada semua guru saya seperti Ibu Sri, Ibu Camelia Sitanggang, Ibu Esti, Bapak Soewardi yang mengajar kami semua di saat pertumbuhan penduduk Indonesia sedang dikendalikan. Bagaimana mereka mengajar di kelas? Buat saya pribadi, dengan segala keterbatasan dukungan alat ajar dan waktu, mereka sungguh inspiratif!

Maka buat saya pribadi, ketika penghargaan guru teladan diberikan dalam bentuk perlombaan, sama sekali tidak mengena. Ada hal yang harus kita ingat bahwa penghargaan itu tidak selalu berkaitan dengan uang dan publisitas, melainkan lebih dari itu. Penghargaan itu berkaitan dengan ketokohan, ketulusan dan kesaksian mereka yang merasakan keteladanan mereka.

Mungkin kebutuhan untuk menjaring mereka yang berprestasi bisa dijadikan suatu tolok ukur untuk institusi. Namun begitu, apakah itu mewakili kebenaran?
Pada akhirnya, saya lebih melihat pada bagaimana kita membuka mata fisik dan batin kita untuk melihat prestasi sebagai suatu pengejawantahan agen perubahan buat masyarakat. Banyak prestasi yang tidak terukur oleh Penelitian Tindakan Kelas, keaktifan organisasi, sertifikat yang didapat ataupun keterkenalan. Buat saya, ketulusan melayani mereka yang berada jauh dari jangkauan, keteladanan dalam keterbatasan, kesetiaan dalam pengabdian, ketiganya lebih berarti.


salam,


Hugo

Sunday, June 3, 2012

SEKOLAH : EDUCERE DAN EDUCARE

Sekolah dalam konteks sebagai sebuah gerakan "educere" yang berarti membimbing kepada satu hal, bisa menjadi satu nilai plus. Sebaiknya disadari bahwa sekolah bukan hanya sebuah gerakan "educare" yang mengajarkan ilmu, melainkkan juga "educere" yang menyiapkan generasi untuk suatu gerakan perubahan.

Gerakan perubahan yang diharapkan bukan hanya dari generasi muda yang bersekolah melainkan juga generasi yang menyekolahkan. Sekolah sebagai satu institusi dan sebagai satu tempat, diharapkan bisa menjadi suatu magnet positif yang mengubah pandangan hidup antar generasi. Hal yang dimaksud adalah penerusan tongkat estafet kekuatan positif antar generasi dimana kekuatan negatif akan tergerus.

Apakah hal ini mungkin? sangat mungkin! Generasi yang lebih tua diharapkan menjadi penuntun generasi yang lebih muda. Sebagai penuntun, maka sudah sewajarnya, generasi yang lebih tua menunjukkan kerendahhatian dan juga kerjasama yang baik. Semakin solid satu komunitas generasi yang mempersiapkan generasi penerus di satu sekolah, maka semakin berkembang dengan baiklah visi dan misi yang dimiliki. Namun, apabila generasi yang lebih tua memandang sekolah dalam tolok ukur materi dimana karena telah merasa "membayar" biaya sekolah, maka semuanya diserahkan kepada sekolah, buyarlah gerakan "educere" tersebut. Generasi yang dipersiapkan pun akan terimbas.

Hal yang sering terjadi sekarang adalah tidak disadarinya gerakan "educere" tersebut. Banyak pihak saling tuduh atas kegagalan dunia pendidikan. Satu hal yang tidak perlu dibesar-besarkan karena selayaknyalah generasi yang lebih tua seperti saya dan anda, bisa menelaah dengan kepala dingin. Sekolah bukan hanya tempat untuk mentransfer ilmu, melainkan juga mewariskan persiapan-persiapan karakter. Sekolah bukan bagian dari tempat saling menyalahkan atas apa yang disebut "salah asuh". Mengapa demikian? karena sekolah sebagai sebuah institusi punya cita-cita mulia. Individu di dalam sekolahlah yang perlu dicermati sebagai "virus". Individu di dalam sekolah bisa jadi adalah pendidik, siswa dan orangtua.

Mari, kita lebih dalam melihat sekolah yang selama ini hanya kita anggap sebagai "educare" menuju "educere". Kita sebagai generasi yang mempersiapkan diharapkan untuk mentransfer positivisme dalam kehidupan generasi baru. Darimana kita akan memulainya? dari diri kita sendiri dan dari keluarga yang kita cintai.

salam,


H


Tuesday, May 22, 2012

PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU (PLPG)

Hallo, apa kabar semuanya?

Setelah sekian lama, kembali saya menulis dalam Bahasa Indonesia. Tulisan ini, saya dedikasikan buat teman-teman Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2012 Rayon Universitas Negeri Jakarta, khususnya yang berlokasi di Graha Insan Cita, kelas C1/ 0001, dan juga untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menyelenggarakannya. Satu ekspresi untuk semua hal yang saya dapat: Terima kasih!

Ketika mendengar kata sertifikasi, sebagai ujung pangkal dari PLPG ini, saya dengan yakin berbisik pada diri sendiri bahwa ini pastilah satu simpul kegelisahan pemerintah - dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - untuk meningkatkan kualitas pendidikan negeri ini. Seperti amanat dalam pembukaan UUD 1945, dimana "mencerdaskan kehidupan bangsa" disebut dengan lantang, maka ujung tombak untuk itu pastilah pendidikan yang diterjemahkan dalam diri para guru. Lalu kesempatan itu datang pada diri saya pribadi dimana saya tidak kuasa menolaknya demi kemajuan personal dan bangsa.

Pendidikan dan Latihan Profesi Guru atau lebih populer melalui singkatannya PLPG, diperuntukan bagi para guru dengan tujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan penghargaan atas profesi yang mereka geluti. Banyak kekhawatiran yang ada dalam benak para guru ketika mengikuti PLPG ini. Salah satu ujung kekhawatiran tersebut adalah: lulus tidak saya nanti? Ada juga yang berpikir menuju penghargaan atas profesionalisme itu dengan UUD (ujung-ujungnya duit). Namun begitu, bagi saya pribadi, ketakutan dan UUD tadi tidak menjadi persoalan penting.

Persoalan terpenting dalam PLPG bagi saya adalah, "Apakah benar, para guru di Indonesia ini, khususnya angkatan saya, benar-benar guru-guru yang kurang atau bahkan tidak profesional?" Itu jawaban terpenting buat saya, terlepas dari temuan atau laporan yang didapatkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mengapa hal ini menjadi penting buat saya? Jawabannya bermuara ketika pemerintah mengumumkan hasil UKA (Uji Kompetensi Awal) dimana dikatakan skor rata-rata yang didapat sangat rendah. Sampai sejauh ini, saya sendiri tidak mendapatkan kabar, berapa skor saya ketika itu. Bisa jadi, saya adalah yang mendapatkan skor terendah, namun karena belas kasih pemerintah, diluluskan.

Persoalan terpenting tadi, pada akhirnya bermuara pada pertanyaan lain, "Apakah uji tertulis adalah satu tolok ukur yang tepat untuk mengatakan bahwa kualitas guru di Indonesia kurang bagus?". Pertanyaan itu juga menjadi satu pertanyaan mirip dengan yang satu ini, "Apakah hasil UN yang rendah menandakan bahwa kemampuan guru yang mengajar berarti sangat minim?" Lalu, pertanyaan itu juga menjadi mirip dengan asumsi ketika para guru kelas 6 dan 9 melakukan test diagnostik, "Kalau gurunya dapat nilai jelek pada test diagnostik, apalagi muridnya."

Hal yang patut kita ingat ketika hendak memajukan pendidikan di negara ini adalah, sumber daya manusia tidak hanya diukur dari beberapa lembar kertas tes. Penilaian layak tidaknya seorang menjadi guru sepatutnya dikukur dari banyak sudut dimana salah satunya adalah tes tertulis. Bisa jadi seorang calon guru memiliki nilai tinggi dalam tes tertulis, tetapi sama sekali tidak memiliki kepribadian seorang guru, tidak memiliki kemampuan sosial, kemampuan mendidik dan juga  profesionalitas. Bagaimanapun, seorang guru harus bisa berdiri di atas semua kriteria. Pada kenyataannya, sangat sulit mendapatkan seorang guru yang mengatasi semua empat kriteria kompetensi tersebut. Tidaklah jauh kita mencari contoh, saya menilai diri saya sendiri: Secara kepribadian, profesionalitas, pedagogik dan sosial, saya yakin saya mampu. Namun, saya memiliki kriteria menurut penilaian saya pribadi. Nah, ketika kriteria saya dibenturkan dengan apa yang diminta oleh pemerintah, kemungkinan besar ada ketidaksesuaian. Bagaimana membuat titik temunya?

Melihat teman-teman di kelas PLPG, maka saya menggolongkan para guru menjadi dua mainstream. Keduanya bukanlah mainstream yang buruk melainkan satu kekurangan dan kelebihan.
Kelompok pertama: Guru yang mempunyai paradigma untuk berubah dengan ketidakpedulian akan keadaan mereka secara pribadi.
Kelompok kedua: Guru yang mempunyai paradigma untuk berubah namun terbentur keadaan mereka secara pribadi.
Apa perbedaanya?

Kelompok pertama merupakan guru yang memilih profesi guru tanpa berpikir untung dan rugi. Semua waktu mereka curahkan untuk mendidik. Seringkali mereka bahkan mengorbankan waktu untuk keluarga mereka demi idealisme. Kelompok ini juga tidak peduli apakah pemerintah memperhatikan kesejahteraan mereka atau tidak, yang terpenting adalah misi mereka sebagai pendidik terlaksana. Apakah pemerintah tahu hal ini? Bagaimana menengarainya?

Kelompok kedua merupakan guru yang memilih profesi guru tanpa berpikir untung dan rugi pada awalnya. Namun seiring waktu, pengorbanan yang mereka lakukan tidak ada yang memperhatikan. Sementara itu, kebutuhan pribadi semakin mendesak, idealisme terongrong. Kelompok ini mengharapkan ada perhatian khusus dari pemerintah untuk kesejahteraan guru. Kelompok ini, baik guru negeri maupun swasta, menjadi dimarjinalkan dan dilorot derajatnya sebagai seorang guru. Apakah pemerintah tahu hal ini? Bagaimana mengatasinya?

PLPG adalah satu solusi bagus untuk peningkatan profesionalisme guru. Embel-embel penghargaan yang didapat setelah PLPG tentunya adalah hal wajar untuk mengangkat kualitas guru secara ekonomi. Namun demikian, apabila PLPG hanya berhenti sampai pada tahap ini, alangkah disayangkan. Buat saya pribadi, PLPG adalah pantas untuk dijadikan sebuah alat untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas guru. Oleh karenanya, PLPG sebaiknya ditingkatkan menjadi satu pelatihan reguler yang diatur tingkatannya menjadi tingkat dasar, lanjutan dan spesialisasi. Tingkat dasar untuk para guru yang baru terjun dalam profesi guru. Tingkat lanjutan diperuntukan bagi para guru yang ingin meningkatkan profesionalitas, pengetahuan pedagogik dan ilmu keguruan. Sementara tingkatan spesialisasi diperuntukkan bagi guru yang ingin meningkatkan kemampuan mendidik yang lebih spesifik. 

Melihat teman-teman PLPG yang berada di kelas yang sama, maka saya bisa mengatakan bahwa guru-guru di Indonesia memang harus lebih banyak saling belajar. PLPG bisa menjadi ajang saling belajar baik dari akademisi seperti pengajar dari Universitas Negeri Jakarta, maupun para pemerhati pendidikan. Kekuatan mereka yang di depan kelas anak-anak  bisa disinergikan dengan mereka yang  berada di depan kelas dewasa. Kenapa tidak? Banyak ide yang saya dapatkan dari para guru yang berada di kelas PLPG. Mereka semua adalah guru dengan idealisme dan kemampuan mengajar yang baik. Oleh karenanya, pemarjinalan melalui nilai UKA sangatlah kurang bijaksana. Menurut anda?


salam,


Hugo


Monday, July 18, 2011

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

"Satuan pendidikan bertaraf internasional merupakan
satuan pendidikan yang telah memenuhi Standar
Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar
pendidikan negara maju."

(Peraturan Pemerintah No.17 Th. 2010 Bab VIII SATUAN PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL Pasal 143)


Pada beberapa waktu yang lalu, di beberapa media massa dimuat kabar mengenai adanya perbedaan pendapat mengenai jalannya satuan pendidikan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Pada dasarnya, apa yang diperdebatkan?
Untuk melihat lebih jernih, kira-kira ada beberapa poin yang diperdebatkan. Beberapa poin sebagai berikut:

1. Tidak mengakarkan suatu kurikulum yang jelas. Saya merasa tidak perlu kita mencari kambing hitam untuk membenarkan satu atau dua pihak. Kurikulum yang jelas ada saat ini adalah kurikulum nasional yang diberi label Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Menurut hemat saya, perjelas dulu aplikasi dari KTSP ini di setiap satuan pendidikan. Selain itu, perbekali juga para ujung tombak penjaga kebijakan pemerintahan, yaitu para pengawas sekolah untuk mendapatkan satu kata tentang isi dan pengejawantahannya dalam setiap satuan pendidikan. Kurikulum yang digunakan di banyak negara maju, sebenarnya secara isi tidak jauh berbeda satu sama lain. Tidak ada kurikulum yang buruk, yang ada adalah tidak maksimalnya kurikulum itu digunakan. Mari instropeksi diri kita, apakah KTSP dilakukan dengan benar atau kita hanya kejar materi pengajaran? Kurikulum kita hendak kita bawakan secara "content based" atau "inquiry based?"

2. Bahasa. Sekolah internasional dalam banyak benak orang Indonesia, adalah sekolah yang menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar. Bisa jadi benar tapi bisa jadi salah juga. Contoh nyata apabila hal itu dianggap benar adalah menjadikan bahasa ibu dianggap bahasa kelas dua. Semakin salah kaprah. Padahal yang benar, menurut hemat saya sekali lagi, adalah bahasa ibu tetap menjadi bahasa yang wajib dipelajari seimbang dengan bahasa asing lainnya. Bahasa ibu dipelajari dikelas dan digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Hanya saja, bahasa asing yang digunakan di sekolah juga diharapkan untuk menjadi bahasa pergaulan sehari-hari juga dengan catatan tanpa memaksakan hal tersebut kepada para perserta didik. Pada akhirnya, anak akan menjadi bilingual sejati dimana mereka berbahasa dengan baik dua bahasa yang dipelajari. Dua bahasa cukup. 

3. Peserta didik. Banyak anggapan bahwa peserta didik untuk RSBI adalah mereka yang berprestasi. Bagaimana dengan mereka yang tidak? sangat tidak adil apabila lingkungan (yang diharapkan) betul-betul internasional education dimana peserta didik mendapatkan pendidikan berwawasan internasional namun tidak melepaskan nuansa lokalnya, hanya untuk mereka yang dikategorikan "pintar" secara test dan nilai. Adilkah itu?

4. Dana Pendidikan. Karena salah kaprah sudah terlanjur terjadi, maka salah kaprah juga menjalar pada uang sekolah yang dikenakan. Semakin jauh dari harapan karena kualitas dan uang yang dikeluarkan tidak sepadan. Buah simalakama!

5. Pencapaian. Banyak pihak yang merasa pencapaian peserta didik dari RSBI tidak sesuai dengan labelnya. Namun sebenarnya, RSBI tidak perlu disalahkan juga karena akar dari pendiriannya juga belum kuat. Hal yang perlu diperbaiki adalah menata "rumah tangga" dahulu. 


Sejujurnya, banyak sekolah negeri maupun swasta yang berkeinginan untuk mendapatkan pengakuan secara langsung atau tidak langsung dengan kualitas pendidikan yang ditawarkan. Hanya saja, memang pemerintah perlu personil yang tegas dan luwes dalam melihat standar internasional sebagai suatu yang bukan "kulit luar" saja. Standar internasional bukan berarti para gurunya harus lulusan S-2 dan sering studi banding ke sekolah di luar negeri, melainkan bisa jadi guru lulusan S-1 dengan sertifikat pendidik dan terlebih penting mempunya hati untuk mendidik bukan melulu bekerja demi mengejar rupiah.

Selain itu, pemerintah juga perlu jujur melihat personil yang menjaga gawang klasifikasi sekolah seperti Sekolah Standar Nasional ataupun RSBI bahkan SBI. Ada banyak hal yang harus dikritisi namun juga perlu kebijaksanaan dalam melihat kesungguhan suatu satuan pendidikan dalam menmpersiapkan suatu standar internasional. 

Jujur, suatu perjalanan panjang untuk mencapai apa yang diinginkan. Namun saya percaya bahwa masih banyak satuan pendidikan baik negeri maupun swasta yang benar-benar ingin memajukan pendidikan di Indonesia ini. Mereka ingin memberikan pendidikan bertaraf internasional yang benar-benar mencakup internasionalisme dan kearifan lokal. Butuh kejelian mata baik mata hati maupun mata kepala kita semua.


salam,


Hugo

Friday, May 27, 2011

PENDIDIKAN, UNTUK SIAPA?

Judul  di atas bagi sebagian orang sudahlah jelas jawabannya.
Di kalimat ketiga dari artikel inipun, saya akan menjawabnya. Jawabannya adalah untuk anak-anak dan mereka yang selalu merasa butuh pendidikan.

Ketika anak-anak memulai jenjang pendidikan formal mereka, pembelajaran yang mereka terima benar-benar memberikan nuansa baru. Mereka mulai mengenal ada banyak hal yang mereka pelajari di rumah dan banyak hal baru yang mereka pelajari di sekolah. Mereka juga belajar tentang perbedaan pandangan yang bisa jadi mereka dapat dari rumah dan sekolah. Mereka belajar mendengar orang lain terlebih-lebih mendengar apa yang dikatakan guru - terkadang guru lebih didengar daripada orang tua mereka sendiri.

Begitu kuatnya pengaruh pendidikan yang diterima seorang anak dalam keluarga dan sekolahnya, hingga seringkali membekas dalam benaknya. Sayangnya, kita sebagai orang tua dan guru kurang menyadari bahwa kita adalah idola anak-anak kita. Karena ketidaksadaran tersebut, kita sering "menghancurkan" kekaguman mereka terhadap kita. Karena ketidaksadaran pulalah, kita sering juga menanggapi apa yang menjadi kebutuhan pendidikan anak kita terabaikan.

Pendidikan yang didapat anak-anak dari orang tua seperti kita akan membekas. Ketika kita tidak menerapkan aturan yang jelas dalam keluarga, maka anak-anak akan mengambil kesimpulan bahwa hidup itu lebih enak tanpa aturan. Sebaliknya, apabila hidup mereka banyak diatur mulai dari bangun pagi sampai tidur malam, maka mereka merasa aturan-aturan itu dibuat untuk membuat mereka yang mejalankannya sengsara. Serba salah? Tidak juga, asal kita mengerti apa yang harus kita lakukan dan posisi apa yang dirindukan oleh anak-anak kita.

Pendidikan untuk anak-anak pada masa sekarang sungguhlah sesuatu yang kita sendiri tidak bisa bayangkan pada masa kita mendapatka pendidikan untuk pertama kalinya. Begitu banyaknya campur tangan perkembangan teknologi terjadi dalam pendidikan anak di masa kini. Apa yang bisa kita lakukan? Hal terpenting yang bisa kita lakukan adalah menanamkan budi pekerti yang baik melalui contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Begitu menyadari bahwa pendidikan yang kita berikan sekarang adalah untuk anak-anak kita, maka sewajarnyalah kita menyadari juga bahwa kesederhanaan berpikir menjadi tumpuan dari budi pekerti. Anak akan dengan mudah membandingkan cara bertindak kita terhadap pengemis - misalnya - dengan nasehat yang diberikan oleh guru di sekolah. Anak bisa sangat kritis menegur orang tuanya apabila mengendarai kendaraan melebihi kecepatan dari rambu-rambu yang terpasang di pinggir jalan. Anak juga bisa menngingatkan orang tuanya untuk tidak melakukan hal-hal yang membuat mereka menjadi malu di depan teman-temannya - semisal mengantar mereka sampai ke depan gerbang sekolah dengan alasan mereka bisa berjalan sendiri beberapa meter sebelum gerbang sekolah.

Apapun yang kita berikan kepada anak-anak kita sebagai bagian dari pendidikan, akan membekas dalam kehidupan mereka di  masa depan. Apabila kita mendidik mereka untuk membeda-bedakan orang lain berdasarkan ukuran kekayaan, maka jangan heran apabila di kemudian hari, anak-anak kita tidak bisa menjadi survivor sejati ketika dibutuhkan. Jangan juga menyesal apabila sekarang kita secara tidak sadar mengajari mereka gaya hidup yang tidak sehat seperti membiarkan mereka melihat kebiasaan minum minuman beralkohol atau merokok. Mereka akan melakukan yang lebih parah dari apa yang orang tua lakukan. Maka tidak heran apabila kita mendengar ada beberapa pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri karena orang tuanya kaya, melakukan tindakan-tindakan konyol demi mencari "jati diri". Mengapa mereka berbuat begitu? karena orang tua mereka begitu permissive terhadap segala tindakan mereka. Menegur anaknya sendiri tidak berani, takut akan menyakiti hati mereka. Pemikiran dan tindakan yang keliru.

Kembali kepada judul artikel ini, marilah kita renungkan. Pendidikan itu untuk siapa? Jangan sampai kita melihat anak-anak kita di masa depan menjadi beban masyarakat. Selagi kita mampu, lakukan banyak hal yang membentuk karakter mereka menjadi manusia yang penuh kasih, kreatif , dan juga peka terhadap lingkungan sekaligus bertutur kata halus dan berpikir jernih.


salam,



Hugo

Monday, March 7, 2011

HOW THE INQUIRERS SHAPED - PARENTS GUIDE

An inquirer is the one who inquires for something. It is really that simple.
The students nowadays need to be inquirer on the knowledge they seek. The teachers as well need to be inquirers as the rapid growth of the knowledge. The parents moreover, need to be the first inquirers at home as the kids will ask them many questions in day to day basis.

The International Baccalaureate Organization where the Primary Years Programme came from, really wants to have all students to be the inquirers. In the IB-PYP handbook: A Basis for Practice (p.4), it is written that 
"Inquiry, interpreted in the broadest sense, is the process initiated by the student 
or the teacher that moves the student from his or her current level 
of understanding to a new and deeper level of understanding"

Obviously, the process in becoming the inquirer begins from the students and the teachers. However, the process actually begins from the family environment. Some people said,"It begins from the moms and dads". To be honest, I really agree that as parents, we hold the most important parts.

When the children ask "what's that daddy?", "Why does the flower have green leaves mom?", and many more questions involving WH questions, we need to answer the questions properly. The children will not be able to be a full inquirer when they hear the answer "well, the leaves have its color because God makes them so" or "you have asked too many questions today, so please be quiet". To connect the answer with God is good but surely God makes everything with logical reason that we also as adults can provide logical answers for our children. Avoiding questions will not make the happy and to be honest will not make us good parents as well.

Any IB schools dream - and yet been proven - to bear more inquirers. As parents, we dream to have our kids hold any language from different nations, master any knowledge they want to pursue, and be person for others. All of that dreams can happen. It all begins from us. Let's be inquirer from now on.


blessing,


Hugo

Wednesday, November 10, 2010

LANGUAGE EXPECTATION

The internationalism has been a trend currently. People want to be still considered local while they also want to be part of international world. One way among many ways in embracing internationalism is to have fluency in some "world languages". 

The languages that people have desire to master are English, France, Latin and Chinese. Besides those four languages, people will automatically master their own mother tongue. In some countries, people can have two mother tongues. Thus, if they learn two other world languages, then these people would be mastering four languages during their lives. 

To be able to use some languages with good standard of fluency must be a great achievement. Some people find it easy as they are language naturalists; some find it hard. 
The rapid changes of world's global economy encourages people to put language as an asset. There are any language courses are established to meet the need of language learners. There are many adults and kids register and learn within language courses. 

Some schools that also want to embrace the internationalism apply certain language policy that they believe will enhance the language skill of their students. However, some schools have made themselves as "risk-taker" by applying "three-languages policy". The expectation is that students at the end of schooling will be able to use three languages in their lives. 

The big question now is whether the students will master the three languages fluently or they will have one language mastered while other languages are just a failure?

Learning a language, I believe must be started with strengthening the mother tongue of a student. Once the mother tongue is established both in school and home, then the students will be able to master another language easily. Another support is that if a family wants the kids want to master two languages, then the family must also exposed every member of family with the correct use of the two languages. What about three languages? I really think that three languages is way too much.

Now, it goes back to school and family policy then.