"Satuan pendidikan bertaraf internasional merupakan
satuan pendidikan yang telah memenuhi Standar
Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar
pendidikan negara maju."
(Peraturan Pemerintah No.17 Th. 2010 Bab VIII SATUAN PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL Pasal 143)
Pada beberapa waktu yang lalu, di beberapa media massa dimuat kabar mengenai adanya perbedaan pendapat mengenai jalannya satuan pendidikan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Pada dasarnya, apa yang diperdebatkan?
Untuk melihat lebih jernih, kira-kira ada beberapa poin yang diperdebatkan. Beberapa poin sebagai berikut:
1. Tidak mengakarkan suatu kurikulum yang jelas. Saya merasa tidak perlu kita mencari kambing hitam untuk membenarkan satu atau dua pihak. Kurikulum yang jelas ada saat ini adalah kurikulum nasional yang diberi label Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Menurut hemat saya, perjelas dulu aplikasi dari KTSP ini di setiap satuan pendidikan. Selain itu, perbekali juga para ujung tombak penjaga kebijakan pemerintahan, yaitu para pengawas sekolah untuk mendapatkan satu kata tentang isi dan pengejawantahannya dalam setiap satuan pendidikan. Kurikulum yang digunakan di banyak negara maju, sebenarnya secara isi tidak jauh berbeda satu sama lain. Tidak ada kurikulum yang buruk, yang ada adalah tidak maksimalnya kurikulum itu digunakan. Mari instropeksi diri kita, apakah KTSP dilakukan dengan benar atau kita hanya kejar materi pengajaran? Kurikulum kita hendak kita bawakan secara "content based" atau "inquiry based?"
2. Bahasa. Sekolah internasional dalam banyak benak orang Indonesia, adalah sekolah yang menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar. Bisa jadi benar tapi bisa jadi salah juga. Contoh nyata apabila hal itu dianggap benar adalah menjadikan bahasa ibu dianggap bahasa kelas dua. Semakin salah kaprah. Padahal yang benar, menurut hemat saya sekali lagi, adalah bahasa ibu tetap menjadi bahasa yang wajib dipelajari seimbang dengan bahasa asing lainnya. Bahasa ibu dipelajari dikelas dan digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Hanya saja, bahasa asing yang digunakan di sekolah juga diharapkan untuk menjadi bahasa pergaulan sehari-hari juga dengan catatan tanpa memaksakan hal tersebut kepada para perserta didik. Pada akhirnya, anak akan menjadi bilingual sejati dimana mereka berbahasa dengan baik dua bahasa yang dipelajari. Dua bahasa cukup.
3. Peserta didik. Banyak anggapan bahwa peserta didik untuk RSBI adalah mereka yang berprestasi. Bagaimana dengan mereka yang tidak? sangat tidak adil apabila lingkungan (yang diharapkan) betul-betul internasional education dimana peserta didik mendapatkan pendidikan berwawasan internasional namun tidak melepaskan nuansa lokalnya, hanya untuk mereka yang dikategorikan "pintar" secara test dan nilai. Adilkah itu?
4. Dana Pendidikan. Karena salah kaprah sudah terlanjur terjadi, maka salah kaprah juga menjalar pada uang sekolah yang dikenakan. Semakin jauh dari harapan karena kualitas dan uang yang dikeluarkan tidak sepadan. Buah simalakama!
5. Pencapaian. Banyak pihak yang merasa pencapaian peserta didik dari RSBI tidak sesuai dengan labelnya. Namun sebenarnya, RSBI tidak perlu disalahkan juga karena akar dari pendiriannya juga belum kuat. Hal yang perlu diperbaiki adalah menata "rumah tangga" dahulu.
Sejujurnya, banyak sekolah negeri maupun swasta yang berkeinginan untuk mendapatkan pengakuan secara langsung atau tidak langsung dengan kualitas pendidikan yang ditawarkan. Hanya saja, memang pemerintah perlu personil yang tegas dan luwes dalam melihat standar internasional sebagai suatu yang bukan "kulit luar" saja. Standar internasional bukan berarti para gurunya harus lulusan S-2 dan sering studi banding ke sekolah di luar negeri, melainkan bisa jadi guru lulusan S-1 dengan sertifikat pendidik dan terlebih penting mempunya hati untuk mendidik bukan melulu bekerja demi mengejar rupiah.
Selain itu, pemerintah juga perlu jujur melihat personil yang menjaga gawang klasifikasi sekolah seperti Sekolah Standar Nasional ataupun RSBI bahkan SBI. Ada banyak hal yang harus dikritisi namun juga perlu kebijaksanaan dalam melihat kesungguhan suatu satuan pendidikan dalam menmpersiapkan suatu standar internasional.
Jujur, suatu perjalanan panjang untuk mencapai apa yang diinginkan. Namun saya percaya bahwa masih banyak satuan pendidikan baik negeri maupun swasta yang benar-benar ingin memajukan pendidikan di Indonesia ini. Mereka ingin memberikan pendidikan bertaraf internasional yang benar-benar mencakup internasionalisme dan kearifan lokal. Butuh kejelian mata baik mata hati maupun mata kepala kita semua.
salam,
Hugo