Showing posts with label IDEAS. Show all posts
Showing posts with label IDEAS. Show all posts

Thursday, February 5, 2015

MENGGUNCANG KESADARAN PENDIDIKAN INDONESIA

MENGGUNCANG KESADARAN PENDIDIKAN INDONESIA

Hugo D G Indratno


Ki Hadjar Dewantara dengan semboyan “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” begitu mengakar pada setiap insan Indonesia khususnya insan pendidikan Indonesia. Sering kali semboyan ini diartikan bahwa seorang guru hendaknya memberi teladan, kemudian membangun semangat belajar dan pada akhirnya memberikan motivasi bagi siswa-siswinya. Sebatas itukah pemahaman dan perwujudan kita semua terhadap semboyan luhur tersebut?

Selaras dengan semboyan Ki Hadjar Dewantara yang begitu menginspirasi, seluruh bangsa ini tentunya berkeinginan untuk mewujudkannya. Namun, apa yang kita lihat dari tahun ke tahun adalah pencideraan dunia pendidikan ini oleh banyak individu. Secara tegas, saya mengatakan di sini bahwa pencideraan dilakukan oleh individu. Akan sangat naif apabila kita saling menyalahkan antar lembaga karena semua lembaga yang berkaitan dengan pendidikan, bertujuan untuk memajukan pendidikan, bukan mementahkannya.

Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara, SJ mendefinisikan pendidikan sebagai “Pemanusiaan Manusia”. Jelas sekali bahwa pendidikan adalah milik manusia.  Pendidikan ada dan akan tetap ada sepanjang manusia hidup dengan atau tanpa sebuah pemerintahan. Pendidikan hendaknya menjadi milik bangsa, bukan milik pemerintahan. Dengan kata lain, pendidikan adalah menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya institusi pendidikan dan pemerintah. Tanggung jawab bersama di sini berarti seluruh lapisan masyarakat karena semuanya mempunyai kontribusi dalam pendidikan baik itu secara formal maupun non formal.

Penataan pendidikan di Indonesia sering digunjingkan sebagai satu musim yang datang silih berganti. Secara pribadi saya melihat bahwa kebijakan yang tentunya dibuat untuk kebaikan, namun kebijakan yang dibuat sering disalahgunakan demi kepentingan beberapa individu. Sungguh suatu keprihatinan ketika beberapa pihak saling menyerang atas kebijakan yang dibuat. Saling menyerang bukanlah satu penyelesaian. Pembuat kebijakan pendidikan di Indonesia sudah saatnya menata diri sendiri tidak bergantung pada rezim ataupun terintervensi oleh kepentingan individu atau kelompok yang ada di lembaga tinggi negara.

Melihat Kail, Bukan Ikannya dan Mimpi-Mimpi

Beberapa tahun terakhir, pemerintah membuat satu kebijakan untuk mengembangkan kualitas pendidik dengan program sertifikasi pendidik. Sebagai satu kebijakan, tentunya ada satu tujuan yang baik untuk dicapai. Banyak pertanyaan yang kemudian muncul di benak ini, salah satunya adalah, apakah para pendidik benar-benar ingin mengembangkan kualitas profesi mereka sesuai kebijakan yang diluncurkan?

Di tahun 2012, saya mengikuti Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang menjadi satu prasyarat untuk mendapatkan sertifikasi guru. Secara pribadi, saya melihat ini sebagai satu proses penyegaran dan penyadaran kembali pada tanggung jawab profesi dan panggilan. Dalam PLPG, saya melihat satu semangat dari pemerintah, dengan segala keterbatasannya mengurus sekian juta guru, untuk menuntaskan amanat UUD 1945 mengenai mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan bangsa yang cerdas, tentu  pengajarnya juga haruslah cerdas.

PLPG oleh beberapa pihak dipertanyakan keefektifan dan kebermanfaatannya. Dalam benak saya, sewajarnya, para pendidik yang telah mengikut PLPG turut mempertanyakannya sebagai bentuk refleksi profesi. Sementara posisi pemerintah, sudah selayaknya juga melihat ke lapangan, apakah yang telah diperbuat memberi efek domino ataukah sekedar menjadi satu kegiatan “hit and run”, atau “sekali berarti, sudah itu mati” - meminjam selarik puisi berjudul “Diponegoro” karya Chairil Anwar.

Apabila PLPG sebagai satu pelatihan telah menginspirasi banyak dari peserta untuk membangun refleksi profesi, maka hingga saat ini paling tidak ada reaksi dari para guru sendiri dan sistem pendidikan dalam pemerintahan. Reaksi yang saya harapkan masih saya impikan. Saya memimpikan adanya satu kerjasama (networking)  mandiri guru-guru yang saling bertukar pikiran, saling berbagi inovasi mengajar yang telah mereka praktekan. Saya memimpikan kebebasan berkumpul untuk berinovasi yang tanpa harus mendapat restu dan supervisi dari pejabat pendidikan. Mimpi saya mungkin akan semakin terang benderang apabila para pejabat pendidikan mendorong suasana kondusif untuk hadirnya banyak kelompok mandiri, bukan karena keterikatan dinas yang selama ini terjadi, melainkan karena keinginan untuk maju bersama dalam pendidikan.

Saya teruskan mimpi-mimpi saya. Saya bermimpi ketika kerjasama mandiri telah dilakukan oleh para guru, maka pembelajaran yang terjadi di dalam kelas akan lebih bervariasi. Apakah mimpi itu bisa terwujud? Tentunya mimpi-mimpi itu bisa terwujud apabila kita mulai bangkit, berdiri dan berjalan mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Saya punya mimpi dimana para guru membangun komunitas mandiri yang saling bertukar pikiran tentang pembelajaran yang mereka lakukan di kelas. Pembelajaran yang mereka pilih dari sekian kali pembelajaran yang mereka lakukan untuk mendapatkan formula yang tepat dan inspirasional bagi siswa-siswinya. Guru adalah manusia biasa yang penuh jatuh bangun dalam menjalankan pembelajaran di kelas. Namun begitu, saya yakin bahwa seorang guru selayaknya bangga akan pembelajaran yang mereka bangun berdasarkan pembelajaran bertahun-tahun yang berusaha mereka sempurnakan disesuaikan dengan karakter dan jaman dari siswa-siswinya.

Pada akhirnya, seorang guru tidaklah bisa berhenti. Ia harus turut berputar seiring berputarnya roda jaman. Ia harus bisa berpikir menggunakan pola pikir anak didiknya. Bagaimana seorang guru bisa berkembang apabila ia menolak untuk berkembang? Marilah, dengan segala keterbatasan manusiawi sebagai guru dan individu, kita melihat cakrawala di mana kelas itu tiada batasnya.

Namun ada satu hal yang patut kita camkan, Anda semua adalah guru. Hal ini tidak terbatas karena Anda mengajar di kelas, tapi karena Anda adalah orang tua yang mendidik anak-anak di keluarga, karena Anda menularkan kebiasaan baik di jalan, di tempat kerja maupun di manapun Anda berada, karena anda memberi perhatian pada mereka yang membutuhkan dan karena sejuta alasan di mana kita semua memberi teladan di depan mata mereka, membangkitkan semangat belajar  ataupun bekerja dan mendorong dengan motivasi tidak hanya bagi siswa-siswi tapi juga semua orang di sekitar. Ingatlah, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani!

April, 2013

Hugo Indratno
Pendidik

Wednesday, February 19, 2014

VIDEO KELASTANPABATAS.COM



Saya membuat video ini dengan VideoScribe free version (Thank you!) Semoga terinspirasi! salam, Hugo

Monday, January 27, 2014

MENULIS BLOG LEWAT IPAD

Hai!

Kali ini saya menggunakan Bahasa Indonesia untuk menyapa semua pembaca blog ini khususnya kalian yang berada di Indonesia.

Dalam perkembangan teknologi yang begitu pesat, beberapa hal yang dahulu hanya bisa kita lakukan lewat personal computer (PC), atau laptop, sekarang telah bisa kita lakukan melalui tablet seperti iPad. Salah satunya adalah menulis blog.

Blog yang saya tulis kali ini menggunakan satu aplikasi yang bernama Blogsy yang ter-install di iPad. Saya dan siswa-siswi di sekolah mulai menulis blog menggunakan iPad. Namun blog siswa-siswi tidak saya cantumkan di sini untuk menjaga privasi mereka. Anda semua sudah bisa kok menikmati hasilnya melalui tulisan saya ini.

Teknologi seperti ini memang masih dirasakan mahal bagi banyak dari kita warga negara Indonesia. Namun demikian, saya yakin apabila satu hari nanti semuanya akan dimungkinkan baik oleh situasi maupun oleh keinginan masing-masing individu. Semoga hal itu bisa segera menjadi nyata.

Saya sertakan satu gambar yang saya ambil menggunakan kamera terintegrasi di iPad di tulisan ini. Semoga hari Anda semua penuh dengan inspirasi dan Anda menjadi inspirasi juga bagi orang lain. Salam!

 

 

Hugo

 

 

 

Thursday, December 12, 2013

ANNOUNCEMENT (PENGUMUMAN)

Dear All Readers,

I have written within this blog for sometime (since August, 2008). I guess, it's time for me to transform all the ideas into a private website. I have tried to operate a movement through a website called "sekolahsejati.org". It was a-two-year training for me how to persuade people in line of education. However, this blog has been a tremendous effort for me and I want to make wider steps. As this website will no longer in service, there will be a new policy from my side.

In January 2014, I will make that steps. This blog will not be wiped out. However, the content will be selected and transferred into new web blog. For your eyes only, the name of the website will be "kelastanpabatas.com" . In English, the website will be translated as "borderless classroom".
The spirit is to share ideas, experiences and link all educators. The website content will be in Bahasa Indonesia and English.

Why "kelastanpabatas.com"? The reason behind the name is actually based on my concern how education is partially seen and applied in many levels of society. With this website content, I hope people can share and link themselves to apply better understanding on education.

Let's face the coming year, 2014, with better paradigms on education.


in education,


Hugo

Wednesday, November 27, 2013

CONTOH CV MENARIK


Hallo!

Entah mengapa, tiba-tiba timbul ide iseng saya. Di saat saya sedang mengerjakan paper untuk kuliah lanjutan saya, tiba-tiba ide untuk berbagi pembuatan CV yang menarik menari-nari di otak ini.
Di bawah ini saya sajikan contoh CV menarik. Tentu saja ada banyak CV yang menarik, tapi salah satunya adalah di bawah ini. Semoga mengsinpirasi!

PS: Kalau Anda mencantumkan foto, jangan lupa buat foto Anda yang tersenyum ya. Calon perusahaan Anda lebih senang orang yang wajahnya biasa tetapi ada senyum tulus di sana :)





















Monday, November 25, 2013

BAKTI ALUMNI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

Hello!

Badan saya masih sangat terasa lelah ketika menulis artikel ini. Namun semangat dan kebahagiaan yang ada dalam pikiran dan hati saya mendorong jari jemari ini untuk menari-nari di atas papan ketik Mac putih ini.

Hari Senin kemarin, atas undangan Bagian Kerjasama Universitas Sanata Dharma yang diwakili oleh Maria Ananta, saya dan beberapa teman alumni mendapatkan waktu untuk berbicara dalam sebuah seminar kecil. Sebagai alumni Universitas Sanata Dharma angkatan pertama ketika bertransformasi menjadi Universitas di tahun 1993, saya merasa terhormat sekali mendapatkan kesempatan dan kepercayaan tersebut.

Seminar yang digagas dari sebuah twitter "gojek kere" oleh Hari Wibowo alias Bowo alias Owob, menjadi seperti bola liar yang ditanggapi dengan sangat positif. Beberapa dari kami langsung mengajukan diri (tanpa malu-malu?) termasuk saya. Setelah "koor" Twitter, maka kami beralih pada email alias surel alias surat elektronik. Tak ketinggalan, selain email, teman-teman alumni dan yang belum alumni, mereka yang berdomisili di Jogja berkumpul secara intens untuk membahas acara yang pasti bakal menjadi "hot shot".

Alhasil, dari sekian puluh emai dan sekian kali kopi darat panitia, maka dipanggilah Leo Among Wijaya (PBI 94), Ari Wibowo (PBI 94), Pongki Barata (PBI 96) dan saya (SIng 93). Pada hari H, kami yang berdomisili di Jakarta begitu semangatnya mengambil pesawat pagi hari walau kantuk masih menyerang.

Rasa bahagia, makin kentara ketika bertemu dengan teman-teman di Jogja dan dosen-dosen kami dahulu. Saya senang sekali bertemu Romo Kun "Fotografi", Pak Sarkim, Romo Rektor (Romo Wiryono) dan terlebih bertemu dosen pembimbing akademik sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus Dosen favorit saya, Pak Hirmawan. What a blessing!

Pada dasarnya, kami ini memang senang kumpul-kumpul. Namun begitu, ini kan acara yang serius yang bukan sekedar kumpul-kumpul. Sehingga, sewaktu kami semua sudah berkumpul, tercetuslah kekhawatiran kami untuk berbicara di depan mahasiswa mahasiswi atau mereka yang baru saja lulus. Kami khawatir, nanti jangan-jangan kita ini asal ngomong. Hahaahaha.. Untung saja ada duet MC maut yaitu Karlina dan Risang yang mengarahkan kami dengan baik dan benar. Beberapa alumni yang muncul ada Garry, Bagus (Boel-Boel) dan Kristiawan (Angkrek) yang muncul memotret kami lalu pergi untuk kuliah lagi (katanya..hahahaha).

Acara hari itu, sangat berkesan. Beberapa foto saya tampilkan di sini. Mohon maaf apabila saya lupa menyebutkan nama-nama beberapa teman. Energi saya ter-charge lagi!


salam,

Hugo





Thursday, November 21, 2013

WHEN THE DOORS SHUT - MANAKALA PINTU-PINTU MENUTUP

Hello pembaca!

Pada tulisan ini, saya menulis dalam Bahasa Indonesia. Pada mulanya, di dalam benak saya ada beribu kata dalam Bahasa Inggris, namun entah mengapa jari-jari ini menari di atas tuts keyboard mengalir begitu saja dalam Bahasa Indonesia (mungkin karena sedikit berbau curhat?)

Akhir-akhir ini, saya sedikit meluangkan waktu untuk berefleksi pada banyak langkah yang saya ambil dalam pikiran, perkataan dan perbuatan yang menyangkut kehidupan sosial maupun karir. Dalam perenungan itu, saya mendapatkan diri saya berpikir, berkata dan berbuat dalam banyak kapasitas yang sangat fantastis. Seakan-akan, segala yang saya perbuat itu bukanlah saya karena begitu hebatnya karya-karya itu. Namun, secara kontras juga saya menemukan perbuatan, pemikiran dan perkataan yang sepertinya merugikan. Di ujung perenungan itu, saya mendapatkan bahwa ternyata semua yang saya lakukan, baik itu tampaknya menguntungkan, maupun merugikan, tidak ada satupun yang buruk. Mengapa demikian? karena ternyata seringkali saya memulai segala sesuatu dengan doa. Doa yang saya panjatkan kepada Tuhan adalah untuk memberikan yang terbaik dalam segala situasi. Doa yang memohon agar saya disiapkan dan didampingi dalam segala situasi. 

Alhasil, itulah yang membuat saya - dalam naik turunnya ritme kehidupan ini - terus mendapatkan kepercayaan untuk lebih maju dalam pemikiran, perkataan dan tindakan baik dalam hidup sosial maupun karir. Teman, saya bukanlah orang yang pintar, tapi saya punya keyakinan untuk maju dan berbagi. Mungkin itu yang membuat orang berpikir saya pintar.

Saya masih ingat, bagaimana banyak ide-ide fantastis yang saya lontarkan - tentunya ide-ide tersebut adalah ilham dari Tuhan - dan menjadi kenyataan yang menyenangkan. Namun, ada juga beberapa ide yang baik namun berujung pada hal-hal yang kurang meyenangkan. Salah satu contoh adalah bagaimana beberapa bulan yang lalu saat saya hendak menjalankan ide tentang kedisiplinan dan semuanya kandas di tengah jalan karena ketidaksepahaman. Ketika hal itu terjadi, saya merasa limbung seakan-akan semua pintu kesempatan telah menutup untuk saya masuki. Namun, blessing in disguise! Karena seperti saya katakan tadi bahwa banyak hal yang saya lakukan ada dalam darasan doa-doa saya, Tuhan memang tidak tidur. Saat saya merasa semua pintu menutup, lobang-lobang cahaya yang ada pada sela-sela pintu dan jendela memberi penerangan. Dalam keadaan yang tidak menentu itu, saya melihat banyak berkas cahaya yang menerangi pikiran. Ada kata-kata yang begitu kuat untuk melihat sekeliling saya dengan lebih jeli dan teliti.

Anda tahu, di saat terburuk itu, saya bisa dengan segera membedakan mana teman yang mendukung dan mana teman yang kurang mendukung. Banyak hal terjadi yang dalam pencernaan pikiran dan perasaan saya, sangat membuat saya bertanya-tanya akan apa yang telah saya perbuat selama ini. Pertanyaan besar terlintas dalam benak saya, "Apakah saya memang benar-benar diterima secara utuh atau tidak?" Tampaknya Tuhan berjalan mendampingi saya untuk mengatakan, "Ayo, kamu harus belajar dari situasi ini. Kamu mungkin salah di mata orang lain, tapi belum tentu salah. Bangkit karena kamu sangat berharga dan masih banyak yang bisa kamu lakukan!"

Beberapa minggu setelah peristiwa tersebut, ada seakan-akan dorongan yang kuat. Saya memberanikan diri untuk berkata pada diri saya, "berhentilah mengerjakan sesuatu walaupun kamu adalah yang terbaik untuk hal itu". Berkas-berkas cahaya yang tadi menerangi langkah saya telah mendorong saya untuk menemukan satu pintu besar yang disebut dengan berkat alias blessing. Saya arahkan Tuhan untuk sesuatu yang baru - mungkin tidaklah besar namun pastilah berarti. 

Di ujung karir saya ketika itu, saya memutuskan pada menit-menit terakhir untuk move on, beranjak dari titik nadir. Satu hal yang sampai tulisan ini bergulir, saya tidak menyesal untuk segala keputusan yang saya ambil karena dalam keputusan itu, saya membagi segala beban dengan Tuhan yang selalu berjalan mendampingi. Satu per satu jalan mulai terbuka. Memang harus diakui, jalan yang sekarang saya lewati bukanlah jalan mudah tapi bukan berarti tidak dapat saya lewati. Saya tidak menyesal sedikitpun untuk melangkah. Bahkan, jujur saja, saya memiliki keengganan untuk bertemu dengan teman-teman dari masa lalu terutama ketika mata hati saya mulai jeli dan teliti. Seringkali, bulu roma ini bergidik sendiri. 

Sekarang, lihatlah saya ada di sini. Ada kegembiraan, kecemasan, tantangan dan harapan yang bercampur aduk. Namun, apa sih yang mulus dalam hidup ini? Hidup kita adalah perjuangan. Untuk semuanya itu, saya siap berbagi tentang perjuangan yang saya alami. 

Saya sekarang hampir menginjak usia kepala 4 dan saya berbahagia bersama orang-orang yang mencintai saya dan tentunya, bersama Tuhan.


salam semangat!



Hugo







Monday, July 15, 2013

GREEN SCREEN USING MACBOOK

I have a MacBook. I have green wall in my school. I have iMovie within my MacBook. Can I make a movie? In February 5, 2013, I just finished another green screen project with Year 6 students. The aim of this project was to support their PYP Exhibition. I always try to persuade other teachers to use technology in line with "what we have" around the school. I think so far, Apple with its MacBook has provided us with some programs to start with. I guess it is a matter of time when other teachers realize what I say. Let's see the video below, shall we?

Note: I use Video Shrinker - an Apple Apps to re-size the video 

blessing,

Hugo


Tuesday, June 4, 2013

KOMPAS 22 April 2013 "Saya Ingin Jadi Penguasa"


Setelah tulisan saya menyebar di blog, majalah dan tabloid nirlaba, tampaknya harian KOMPAS menilai tulisan saya cukup aktual untuk dimuat. KOMPAS memuat tulisan ini pada tanggal 22 April 2013. Kebetulan dekat-dekat dengan tanggal itu, saya berulang tahun. Sepertinya, ini adalah "kado" ulang tahun buat saya. Terima kasih KOMPAS!
Selamat menikmati!


salam,


H

Sunday, February 24, 2013

SOCIAL SKILLS

Using my classroom and other classrooms as laboratories had put me into a deep thought. Among many thoughts I had in mind, I stopped to one skill that students used naturally: Social Skills.

What are Social Skills?
In brief, Social Skills are skills that we use to communicate - verbally or non-verbally - with other people. In this writing, I mostly will see skills used in classrooms that related with social skills in general.

Social Skills in Classrooms
I will use some skills depicted in classrooms such as accepting responsibility, cooperating and resolving conflict. To my point of view, these three skills are related with each other. Once again, using my classrooms and other classrooms as laboratories, I saw these three skills - included in Social Skills - were really needed and powerful.

Accepting responsibility
Some students need extra encouragement to accept responsibility in some extends. Lack of confidence, fear, underestimating themselves might be some reasons to see. Here are some examples that I have seen happening in classrooms.
Why should I carry this responsibility? Can you please choose someone else? These questions are mostly asked by students with low self-esteem - sometimes a bit of fear that they might not lead well as it has been asked. This kind of reaction is like a disease. It is truly contagious to other students within the group. If my friends can escape from that responsibility, why can't I?
Again, as teachers, we need to give motivational inputs. Some students feel more comfortable when there is assignment to do, it is completed with the how to do list. We need to give them a bit insight then the rest of what will happen, we let them to anticipate as the real life will do similarly.

Cooperating
It is a bit difficult and frustrated sometimes for some students to cooperate themselves in a group work. Some of them might have an idea of becoming passive members as their sign of good cooperation. It is something that teachers need to aware of. Students with that kind of attitude soon or later will take everything passively. When starting the learning process, teachers need to give clear expectation on what is accepted and not accepted as a cooperation. Being attentive as well as active in sharing materials or opinion are some real actions in making word cooperation comes true.

Resolving Conflict
This skill is really hard when nobody wants to lose. For many children, loosing an argument is not a good way to impress their buddies. In a group work, conflict happens easily. One child wants to be more recognized than others and vice versa. As teachers, we need to remind students that it is better to keep the situation healthy than to let things loosen and conflict comes. Small things mean a lot such as listening to others, taking turns, reacting positively to others' opinion, compromising opinions, connecting things. To make things run smoothly, as teachers we need to guide and train students on reacting in such conditions.

Those are the skills that students need to improve. Once again, different classrooms will have different point of view as I see these skills needed in classrooms I have observed.

cheers,

H

Sunday, October 7, 2012

ARE WE WISE OR FATALIST TECHNOLOGY USERS?



Hugo D Gunawan I
Language Advisor: Frances Hazle

“The technology development drives people into two mainstreams:
wise and fatalist users”.

It’s a common thing now in big cities in Indonesia, to see a 7-year-old children play with a sophisticated handheld. The words: pad, tab, touch screen, swipe, wifi, online and many other technological words, are often heard from our children’s conversation. The rapid changes of technology cannot be avoided. In line with the rapid changes of technology, the mid level society in Indonesia is massively growing. 

The phenomenon of positive growth of economics in Indonesia has been predicted. This phenomenon triggers some changes in many aspects such as life style, education and living cost. Life style is mostly related with technology changes. The closest example is the technology exploration on handheld. The handheld that we knew before was mostly for calling and texting. Unavoidably, the technology has had to touch up the handheld we use today.

The changes in our handheld consist of the colored screen, integrated camera, more capacity for text characters, multimedia service (MMS), integrated music player, touch screen, internet access,  etc. , you name it. It seems that the new products bring a lot of changes that users cannot resist having. The unbearable resistance to have the latest technology is triggered by the growth of social media that have been integrated to the Internet bundling within the handheld.

As most of us are in mid level society, the impact of this technology growth does exist. Our kids are whining to have the newest product from Apple or Samsung i.e. iPhone, iPad, and the MacBook series for Apple, and Galaxy series phone and Galaxy Tab as the iPad competitor. We cannot cover our ears when husband or wife also argue with each other about how important it is to have iPad to support their work.  At the end of the day, we should be honest with each other, is it for work or life style? Are we insisting on following the latest technology fad for recognition?

The technology development drives people into two mainstreams: wise and fatalist users. The reason behind our motivation in keeping up with the latest technology offered by all gadgets is questionable. Unfortunately, we can “pull our brake” while our kids cannot. It is not because our kids do not have self-control. It is mainly because they belong to this technology era and have not reached maturity in deciding what is best for them. They can stare at their gadgets for hours and try all applications while adults like us worry too much about spending more money to fix the gadgets supposing they are broken.

How can we keep up with what our kids know? To be honest, there’s no other way than dedicating our time to learn what they know from them directly. Most of us think that we are too busy to sit and learn the games that our kids are playing. Or worse, most of us think that we are too old to know such things. Even worse, most of us think that what they are playing are useless. The willingness is the key. The rest is time dedication and management.

“Getting involved in educating and nurturing within 21st century education
is not only school responsibility but also parents’ ”

The best thing that we will get when we are spending time with our kids is a better family relationship. There are three things we will have. First, we will be able to justify and influence our kids in choosing and valuing the right games. Second, we will be able to facilitate our kids to think naturally. The last, we will be able to operate new things in our golden age!
The positive impacts are more dominating than the negative ones. Once again, we should sacrifice our time though.

The use of technology is also widely misused by our kids. The boredom, peer pressure and addiction are some reasons technology misuse. Rules have been introduced at home and school to minimize the tendency of misusing. The best part of anticipating this technology abuse should be coming from the users. At this point, basically, it is personal calling to know whether the users want to be wise users or fatalist users. Covering as the shield for personal calling will be the maturity. How do our kids get their maturity? They get their maturity from their families and environment. Remember, we raise our kids with the consideration that their maturity meets the age and is at the right time.

The wise users will consider cutting the word fun into two categories, which are fun to help, and fun to use. Fun to help, of course, the users know that the gadgets offer a lot of fun to help users open their mind. On the contrary, the fatalist users will think that the gadgets are fun to use. Addiction is going to be the result. To be wise or fatalist users, you do not need be kids, adults might do a similar thing. Therefore, the role of parents and teachers in building wise users is critical.

There are a lot of ways to guide users into becoming wise users. The technological gadgets are in trend putting educational games to help our kids to learn academically. Adults will need to make an effort to select and apply these educational games. At this point, educational games cannot always become an oasis to rely on. Addiction is another result for fatalist users. It is kind of funny to hear that the kids are addicted to educational games and cannot put their gadgets away.  Therefore, knowing the right time and the timing will be of great help. 

Getting involved in educating and nurturing within 21st century education is not only school the responsibility but also the parents’. As it was mentioned in the beginning of the article, the impact of the economic growth is in symbiosis with almost all technological aspects in our lives. That is why it is important for us to know how technology is used in different perspectives among generations. Otherwise, we are going to raise fatalist technology users. To be honest, we don’t want to end up in such a situation, do we? Being parents and teachers in this technological generation is not an easy thing to do. As there’s no institution running educational session to prepare one as parents, we, as parents are required to be committed in paving the way for the success of our kids. In conclusion, I would like to quote what people often say,” no pain, no gain”.


Hugo D Gunawan I is currently Tunas Muda International School Secondary Coordinator and an IB Asia Pacific PYP Bilingual Workshop Leader. He also writes his ideas at http://guruhugo.blogspot.com


References:

·      Booklet Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Agustus 2012 Badan Pusat Statistik, ISSN: 2085.5664 Publication Number: 03230.1203
·      Boss, Suzie. Edutopia: A Parents Guide to 21st Century Learning © 2012 The George Lucas Educational Foundation

Tuesday, May 22, 2012

PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU (PLPG)

Hallo, apa kabar semuanya?

Setelah sekian lama, kembali saya menulis dalam Bahasa Indonesia. Tulisan ini, saya dedikasikan buat teman-teman Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2012 Rayon Universitas Negeri Jakarta, khususnya yang berlokasi di Graha Insan Cita, kelas C1/ 0001, dan juga untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menyelenggarakannya. Satu ekspresi untuk semua hal yang saya dapat: Terima kasih!

Ketika mendengar kata sertifikasi, sebagai ujung pangkal dari PLPG ini, saya dengan yakin berbisik pada diri sendiri bahwa ini pastilah satu simpul kegelisahan pemerintah - dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - untuk meningkatkan kualitas pendidikan negeri ini. Seperti amanat dalam pembukaan UUD 1945, dimana "mencerdaskan kehidupan bangsa" disebut dengan lantang, maka ujung tombak untuk itu pastilah pendidikan yang diterjemahkan dalam diri para guru. Lalu kesempatan itu datang pada diri saya pribadi dimana saya tidak kuasa menolaknya demi kemajuan personal dan bangsa.

Pendidikan dan Latihan Profesi Guru atau lebih populer melalui singkatannya PLPG, diperuntukan bagi para guru dengan tujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan penghargaan atas profesi yang mereka geluti. Banyak kekhawatiran yang ada dalam benak para guru ketika mengikuti PLPG ini. Salah satu ujung kekhawatiran tersebut adalah: lulus tidak saya nanti? Ada juga yang berpikir menuju penghargaan atas profesionalisme itu dengan UUD (ujung-ujungnya duit). Namun begitu, bagi saya pribadi, ketakutan dan UUD tadi tidak menjadi persoalan penting.

Persoalan terpenting dalam PLPG bagi saya adalah, "Apakah benar, para guru di Indonesia ini, khususnya angkatan saya, benar-benar guru-guru yang kurang atau bahkan tidak profesional?" Itu jawaban terpenting buat saya, terlepas dari temuan atau laporan yang didapatkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mengapa hal ini menjadi penting buat saya? Jawabannya bermuara ketika pemerintah mengumumkan hasil UKA (Uji Kompetensi Awal) dimana dikatakan skor rata-rata yang didapat sangat rendah. Sampai sejauh ini, saya sendiri tidak mendapatkan kabar, berapa skor saya ketika itu. Bisa jadi, saya adalah yang mendapatkan skor terendah, namun karena belas kasih pemerintah, diluluskan.

Persoalan terpenting tadi, pada akhirnya bermuara pada pertanyaan lain, "Apakah uji tertulis adalah satu tolok ukur yang tepat untuk mengatakan bahwa kualitas guru di Indonesia kurang bagus?". Pertanyaan itu juga menjadi satu pertanyaan mirip dengan yang satu ini, "Apakah hasil UN yang rendah menandakan bahwa kemampuan guru yang mengajar berarti sangat minim?" Lalu, pertanyaan itu juga menjadi mirip dengan asumsi ketika para guru kelas 6 dan 9 melakukan test diagnostik, "Kalau gurunya dapat nilai jelek pada test diagnostik, apalagi muridnya."

Hal yang patut kita ingat ketika hendak memajukan pendidikan di negara ini adalah, sumber daya manusia tidak hanya diukur dari beberapa lembar kertas tes. Penilaian layak tidaknya seorang menjadi guru sepatutnya dikukur dari banyak sudut dimana salah satunya adalah tes tertulis. Bisa jadi seorang calon guru memiliki nilai tinggi dalam tes tertulis, tetapi sama sekali tidak memiliki kepribadian seorang guru, tidak memiliki kemampuan sosial, kemampuan mendidik dan juga  profesionalitas. Bagaimanapun, seorang guru harus bisa berdiri di atas semua kriteria. Pada kenyataannya, sangat sulit mendapatkan seorang guru yang mengatasi semua empat kriteria kompetensi tersebut. Tidaklah jauh kita mencari contoh, saya menilai diri saya sendiri: Secara kepribadian, profesionalitas, pedagogik dan sosial, saya yakin saya mampu. Namun, saya memiliki kriteria menurut penilaian saya pribadi. Nah, ketika kriteria saya dibenturkan dengan apa yang diminta oleh pemerintah, kemungkinan besar ada ketidaksesuaian. Bagaimana membuat titik temunya?

Melihat teman-teman di kelas PLPG, maka saya menggolongkan para guru menjadi dua mainstream. Keduanya bukanlah mainstream yang buruk melainkan satu kekurangan dan kelebihan.
Kelompok pertama: Guru yang mempunyai paradigma untuk berubah dengan ketidakpedulian akan keadaan mereka secara pribadi.
Kelompok kedua: Guru yang mempunyai paradigma untuk berubah namun terbentur keadaan mereka secara pribadi.
Apa perbedaanya?

Kelompok pertama merupakan guru yang memilih profesi guru tanpa berpikir untung dan rugi. Semua waktu mereka curahkan untuk mendidik. Seringkali mereka bahkan mengorbankan waktu untuk keluarga mereka demi idealisme. Kelompok ini juga tidak peduli apakah pemerintah memperhatikan kesejahteraan mereka atau tidak, yang terpenting adalah misi mereka sebagai pendidik terlaksana. Apakah pemerintah tahu hal ini? Bagaimana menengarainya?

Kelompok kedua merupakan guru yang memilih profesi guru tanpa berpikir untung dan rugi pada awalnya. Namun seiring waktu, pengorbanan yang mereka lakukan tidak ada yang memperhatikan. Sementara itu, kebutuhan pribadi semakin mendesak, idealisme terongrong. Kelompok ini mengharapkan ada perhatian khusus dari pemerintah untuk kesejahteraan guru. Kelompok ini, baik guru negeri maupun swasta, menjadi dimarjinalkan dan dilorot derajatnya sebagai seorang guru. Apakah pemerintah tahu hal ini? Bagaimana mengatasinya?

PLPG adalah satu solusi bagus untuk peningkatan profesionalisme guru. Embel-embel penghargaan yang didapat setelah PLPG tentunya adalah hal wajar untuk mengangkat kualitas guru secara ekonomi. Namun demikian, apabila PLPG hanya berhenti sampai pada tahap ini, alangkah disayangkan. Buat saya pribadi, PLPG adalah pantas untuk dijadikan sebuah alat untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas guru. Oleh karenanya, PLPG sebaiknya ditingkatkan menjadi satu pelatihan reguler yang diatur tingkatannya menjadi tingkat dasar, lanjutan dan spesialisasi. Tingkat dasar untuk para guru yang baru terjun dalam profesi guru. Tingkat lanjutan diperuntukan bagi para guru yang ingin meningkatkan profesionalitas, pengetahuan pedagogik dan ilmu keguruan. Sementara tingkatan spesialisasi diperuntukkan bagi guru yang ingin meningkatkan kemampuan mendidik yang lebih spesifik. 

Melihat teman-teman PLPG yang berada di kelas yang sama, maka saya bisa mengatakan bahwa guru-guru di Indonesia memang harus lebih banyak saling belajar. PLPG bisa menjadi ajang saling belajar baik dari akademisi seperti pengajar dari Universitas Negeri Jakarta, maupun para pemerhati pendidikan. Kekuatan mereka yang di depan kelas anak-anak  bisa disinergikan dengan mereka yang  berada di depan kelas dewasa. Kenapa tidak? Banyak ide yang saya dapatkan dari para guru yang berada di kelas PLPG. Mereka semua adalah guru dengan idealisme dan kemampuan mengajar yang baik. Oleh karenanya, pemarjinalan melalui nilai UKA sangatlah kurang bijaksana. Menurut anda?


salam,


Hugo


Tuesday, January 31, 2012

E-PORTFOLIO = ONLINE PORTFOLIO

Hello world!

I am sure that an online e-portfolio is a must for all schools around the world now. What do you think?



blessing,


Hugo

Monday, April 18, 2011

I WANT TO HAVE MY OWN SCHOOL

After some years in education, my heartstring tells me what I really need to have. Yes! I want to have my own school.
The story will not end up in a sentence. To be honest, I have had my own arrangement on the school's "software". 

Some of the items included in the "software" category are:

1. Curriculum
  The curriculum will be the national curriculum with some additional known as local material (muatan lokal). The curriculum will be delivered using the inquiry method. The curriculum will use national-content textbooks for the teachers only. Workbooks for the students will be provided.

2. ICT integration
   The use of Information and Communication Technology is not in the ICT lab. The school will put the use of ICT within the classroom. There will be no ICT teachers. The class teachers have to be ICT people. The teachers have to be able to think "beyond the future"

3. Teacher-Students-Parents-Teachers = Collaboration
    The learning process will be started from the classroom where the teachers and students have their interaction and students have collaboration among themselves. After the classroom process, then the parents and teachers will have communication through the learning management system portal developed by the school. At the end, the teachers will have a clear, thoroughly feedback from the students and parents displayed through the learning management system portal. It is very 21st century classroom without leaving the person-to-person touch-base. 

To be continued....

Sunday, March 27, 2011

MENCIPTAKAN SEKOLAH BERKARAKTER

Merujuk pada tulisan saya sebelumnya tentang "Sekolah Berkarakter", maka kali ini adalah satu jenjang lanjutan yang lebih terperinci.
Sebuah sekolah yang berkarakter adalah sebuah sekolah yang setiap komponennya setuju dengan karakter yang terbentuk dan juga berbesar hati untuk mengadakan perubahan demi dan hanya untuk pendidikan.

Pada dasarnya, untuk menciptakan sebuah sekolah berkarakter membutuhkan keyakinan, waktu dan ketulusan. Untuk memudahkan kita semua membaca tulisan ini, saya akan membaginya berdasarkan ketiga pilar utama yang tersebut di atas.

1. KEYAKINAN

Memiliki sebuah keyakinan adalah pilar mendasar. Keyakinan yang dimaksud bukanlah agama. Keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan pada apa yang sekolah ingin capai. Beberapa hal yang bisa dilihat dalam pilar keyakinan ini adalah kurikulum dan tenaga pendidik. Sebuah sekolah, baik itu dikelola oleh pemerintah maupun swasta, harus mempunyai keyakinan pada kurikulum dan tenaga pendidik yang mereka kelola. Memang dalam hal ini banyak hal yang harus dilihat lebih mendalam seperti kurikulum nasional yang sekarang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus dimaksimalkan pengelolaannya. Terus terang, kurikulum bukanlah suatu hal yang hanya membuat sekolah berorientasi pada target menyelesaikan buku paket melainkan pada kompetensi anak didik.

Kendala yang dihadapi oleh kurikulum nasional kita adalah desain output dari tiap jenjang satuan pendidikan. Apa yang disebut dengan output selalu berkaitan dengan quality control. Quality control selalu berkaitan dengan serangkaian tolok ukur yang harus dilewati para peserta didik untuk dikatakan menyelesaikan jenjang satuan pendidikan. Pada beberapa waktu yang lalu, passing grade untuk UN masih menjadi "momok". Tampaknya hal itu mulai dikurangi dengan adanya penghargaan pada pencapaian peserta didik yang tercatat pada laporan hasil belajar. Waktu mengubah semua itu!

Sebuah sekolah atau satuan pendidikan, haruslah mengakomodir kurikulum nasional dalam pengajaran yang 'istimewa'. Antar satuan pendidikan melakukan pengajaran yang berbeda sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Tenaga pendidik juga haruslah yakin pada kompetensi mereka. Sangat disayangkan apabila tenaga pendidik memilih karir sebagai seorang pendidik hanyalah semata-mata karena mereka tidak mendapatkan karir yang lain. Keyakinan untuk menjadi pendidik adalah suatu keyakinan yang menjadi suatu kebanggaan karena turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Tenaga pendidik juga harus memiliki keyakinan bahwa mereka harus terus berkembang karena ilmu yang ditularkan juga berkembang. Sangat disayangkan apabila seorang pendidik di abad 21 ini masih canggung dengan teknologi masa kini.

2. WAKTU

Mencapai suatu standar yang diidam-idamkan butuh waktu. Ketika kita semua sadar bahwa kita butuh waktu, maka semua komponen dalam sekolah juga harus mendukungnya. Pada umumnya, ketika semua komponen dalam satu sekolah belum sepakat pada yang namanya waktu, mereka akan cenderung saling membandingkan.

Waktu dibutuhkan setiap komponen sekolah. Seorang tenaga pendidik membutuhkan waktu untuk melihat, merencanakan dan mengevaluasi langkah-langkah pembelajarannya. Seorang siswa membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dirinya pada situasi pembelajaran dan lingkungan sekitarnya. Orang tua siswa juga membutuhkan waktu untuk menelaah sikap sekolah dalam rangka pembelajaran di kelas dan di luar kelas. Semuanya butuh waktu untuk mengerti.

Mengenal waktu berarti menghargai waktu. Menghargai waktu berarti memaklumkan proses. Memaklumkan proses berarti mengerti perbedaan waktu antar siswa yang merupakan individu unik. Kedewasaan intelegensi setiap siswa berbeda-beda. Orang dewasa terkadang lupa bahwa mereka pun pernah mengalaminya. Sering karena tidak memahami proses, siswa menjadi kambing hitam. Ketika di masa depan, siswa tadi menjadi "orang" maka berebutanlah semua orang dewasa mengklaim andilnya.

Mengenal waktu berarti juga mengenal target. Mengenal target berarti mempunyai tujuan pencapaian yang jelas. Mempunyai tujuan yang jelas berarti sebuah kesepakatan akan satu yang terbaik bagi semua.

Masih meragukan waktu?

3. KETULUSAN

Pilar terakhir adalah ketulusan. Ini adalah pilar yang paling sulit. Ketulusan teramat sulit untuk mempunyai sebuah tolok ukur. Namun demikian, bukanlah hal yang mustahil bukan?

Setiap satuan pendidikan harus mempunyai ketulusan terhadap peserta didik. Setiap peserta didik harus mempunyai ketulusan dalam menghidupi pengetahuan yang didapat. Setiap tenaga pendidik harus tulus membimbing peserta didik karena apabila ketulusan terlunturkan oleh banyak pamrih, maka pembelajaran akan menjadi satu rutinitas belaka yang menjemukan.

Ketulusan juga harus diciptakan satuan pendidikan terhadap masyarakat sekitar. Hal ini akan terlihat dengan kerjasama yang signifikan dan berkesinambungan. Apabila peserta didik diarahkan menghidupi pengetahuan yang didapat, maka sangat tidak mustahil apabila ada aksi tulus dari peserta didik terhadap masyarakat sekitar sebagai "buah" pengetahuan.

Para orang tua juga sangat diharapkan ketulusannya dalam membantu proses belajar mengajar. Sering kita temui bahwa satuan pendidikan dianggap sebagai sebuah "pabrik" dimana para orang tua hanya "menitipkan" anak-anak mereka untuk nantinya secara ajaib menjadi "barang jadi". Jangan kita nanti hanya menyesal tanpa tahu harus berbuat apa.


Ketiga pilar tadi tentu saja tidak hanya bagus untuk satuan pendidikan dan komponennya, melainkan bagus untuk sistem pendidikan di negara kita. Tentu saja, proses pemikiran seperti ini masihlah harus ditelaah dan diterjemahkan dalam langkah yang lebih konkrit. Namun saya percaya bahwa kita semua bisa dan generasi yang akan menggantikan generasi sekarang, akan segera berpikir dengan cepat untuk mengadakan perubahan menyeluruh.
Semoga!

salam,


Hugo

Friday, October 8, 2010

SHIFTING PORTFOLIO TO e-PORTFOLIO

"An e-portfolio is a learner-driven collection of digital objects demonstrating experiences, achievements and evidence of learning. E-portfolios provide learners with a structured way of recording their learning experiences and work history. E-portfolios can be developed quickly and easily in the workplace to capture live evidence through the use of mobile phones and point-of-view devices, and can include a range of digital evidence such as audio, video, photographs and blogs". (http://www.flexiblelearning.net.au/content/e-portfolios-4)


To be honest, what happen to your kid portfolio after been taken home? There are some possibilities. You might make a special cupboard to put all your kid stuffs. In contrary, you might not make any special place. The portfolio will go anywhere within his or her bedroom. One day, you will see the portfolios have been becoming a problem because there are no more space within the bedroom or worse, they look like rubbish. No other way then to make them disappear. 


Shifting portfolio to e-portfolio has been a real need in this 21st century learning. Recording the students achievement using audio, video, photographs, blogs will be great evidences for parents. Another important thing is how e-portfolio is accessible at anytime, anywhere and for anyone (as long as they have username and password - it s strongly suggested that e-portfolio with website based must be password protected).


If you wish your school using e-portfolio, you may apply within your school websites (you need to make sure that your school server is big enough and has static IP) or having free websites such as google docs, moodle, or weebly. Parents need to be informed clearly on the use of e-portfolio.

This e-Portfolio will be staying in website and also burned into CD. After copied into CD, you can make any number of copies as you wish.Yes, you will not be able to touch the real thing, however, you have the evidence and memory of what your kid have done in their learning process. Therefore, we make a step a head to digital form in the making of portfolio.  Let's shift our mind into the 21st century reality!



(some parts of this post taken from my school e-portfolio)


blessing,


Hugo