Thursday, December 1, 2011

PYP EXHIBITION (2) - THE PROCESS

As I told you before, I am trying to give you - the readers - a clearer picture of our PYP exhibition process.

In Tunas Muda International School - Meruya Site - few months ago, the students started their PYP exhibition with a front-loading from our PYP-coordinator, Massy Sitompul. Basically, the session was a brainstorming or tuning-in session where the students discussed the concept and skill they had had. Massy was really an inspiration for the students to see all the exhibition preparation sound and alive.

The next step was the finding step. The students have set their exhibition goals. They discussed within their group about the action and product. I had a "wow" moment when one group came to me and asked whether their questions had been good enough to be presented. I looked at their paper and could not believe that it was them making all the questions. The questions were a living proof how they knew how to start critical thinking. All things in the concept-driven questions were there to name a few such as form, change, causation, connection and reflection. Then they asked me if I could join them in an interview with some sources people. Why not?

Here are some pictures when I accompanied them interviewing some experts at Binus University and C'n'S Magazine. More news to come..


Blessing,


Hugo








Credit: Thanks to Pak Suhud Widagdo and friends at C'n'S Magazine and Ibu Hardiyani at Binus Kampus Anggrek.

Thursday, November 24, 2011

PYP EXHIBITION (1)

"The Primary Years Programme (PYP) exhibition represents a significant event in the life 
of a PYP school and student, synthesizing the essential elements of the PYP 
and sharing them with the whole school community".
(IB-PYP Exhibition Guideline, 2008)



For all PYP students around the world, PYP exhibition is surely a big thing. I have been doing the exhibition with my students for six years. For six years, I have seen things are growing differently. The transdisciplinary theme can be the same for two years, but the way the students approached the issues are certainly different. 

In my first year teaching in IB-PYP school, I asked myself: why should we do the exhibition? why bother? Once I jumped in, then I realized how challenging the stage was. I saw how my students applied their PYP attributes within the exhibition preparation totally. The role of the teachers as mentors only took part as a "frying pan". The students are the ingredients, the stove and the fire!


Here I describe the teachers as a "frying pan" because they only a place where the students put everything they find during their independent research. The teachers hold the findings and only the truest and genuine findings can stay within the "pan". After having a "green" light to go, then the students will turn on the stove and lit the fire!

Here also I try to copy what has been mentioned in the exhibition guideline handbook.

The PYP exhibition has a number of key purposes:

  • for students to engage in an in- depth, collaborative inquiry
  •  to provide students with an opportunity to demonstrate independence and responsibility for their
    own learning
  • to provide students with an opportunity to explore multiple perspectives
  •  for students to synthesize and apply their learning of previous years and to reflect upon their journey through the PYP
  •  to provide an authentic process for assessing student understanding
  •  to demonstrate how students can take action as a result of their learning to unite the students, teachers, parents and other members of the school community in a collaborative
    experience that incorporates the essential elements of the PYP
  • to celebrate the transition of learners from primary to middle/secondary education.

(IB-PYP The Exhibition Guideline, 2008)

  After this writing, I will provide you all with the latest process of PYP exhibition conducted by my students at my current school, Tunas Muda International School Meruya, Jakarta, Indonesia. 


blessing,


Hugo






Friday, October 7, 2011

GOOGLE SKETCHUP AND STUDENTS ACTION

In the 21st century learning environment, the use of application programs is unavoidable. Some programs have to be bought before downloaded. The good news is that a lot of programs are made freely for all users around the world.
One program out of many programs that really suits the 21st century teaching and learning is Google Sketchup. Not only teaching the students about shapes and maths application but also giving direction on how the students can take action by designing useful invention for their surroundings.

Therefore, in relation with the technology unit, my year  six students work individually in "designing" a useful technology. Surprisingly, they made things to help Jakarta as the Indonesia capital city. They dreamed to have some useful items such as "pollution house", "anti flood dam", "anti traffic", and many more. Surely, their designs were not the most detail ones as they were the experts. The way they responded on terrible things their city faces was one prove from many that the students had hearts to share with other citizens.

Some of them came to me and asked what I am making on my computer. I told them that I wanted to have a dam that able to avoid us from the flood as well as a water purifying dam. This kind of answered had triggered them to work on their design. Google sketchup really made them like experts. Here are some screen shots. Enjoy them!


blessing,


Hugo







Wednesday, July 20, 2011

BERBAGI ILMU

Seringkali saya mendapatkan pertanyaan, "mengapa repot-repot menulis blog?"

Mendapat dan Memberi

Buat saya pribadi, menulis di blog adalah satu kepuasan dari penularan pikiran yang tanpa harus diedit oleh pihak lain. Tulisan-tulisan yang saya tulis sendiri merupakan jejak pemikiran yang akan terekam entah sampai kapan. Disamping itu, saya juga bisa mereview pemikiran itu sendiri. Bisa jadi, apa yang saya tulis beberapa hari yang lalu ternyata adalah suatu kekeliruan atau kurang lengkap. Pada akhirnya, langkah-langkah itu mengasah saya untuk lebih maju lagi.

Selain menulis blog, saya juga aktif memberikan workshop atau seminar baik skala nasional maupun mini workshop. Tidak ada masalah bagi saya karena keduanya merupakan penularan ilmu dan juga proses berbagi dan saling mendewasakan. Banyak hal yang saya dapat dari membaca berita yang ditulis para jurnalis seperti halnya ilmu yang saya dapat juga dari teman-teman guru lainnya. Itulah mengapa, saya banyak mendorong teman-teman sejawat untuk "berani" berbagi dalam setiap kesempatan. 

Jago Tandang Bukan Jago Kandang

Seringkali kita melihat diri kita hanya berani berbicara di lingkungan yang mengenal kita. Lebih sering kita menutup diri untuk berbicara di depan mereka yang tidak mengenal kita. "Takut" adalah kata yang sering dipakai. Mengapa takut? Kita semua memiliki perasaan itu, tapi untuk berbagi ilmu dan menimba ilmu, jangan takut!

Inovasi yang kita lakukan sebagai profesional, seharusyalah dibagi. Jangan kita simpan inovasi itu, karena saat pihak lain melakukan hal yang sama, baru kita menuduh mereka "pencontek". Lebih baik kita membagikan inovasi yang kita buat sehingga pengakuan itu datang. Lebih senang, setelah itu ada yang mengembangkan inovasi yang kita ciptakan. Berarti kita telah menginspirasi teman-teman yang lain. Selamat!

Semoga sedikit celoteh saya di tulisan kesekian ini membangkitkan semangat berbagi ilmu buat para pembaca blog ini. Saya masih mencari lebih banyak ilmu dan ingin juga menciptakan inovasi baru dalam pendidikan Indonesia. Ayo!


salam,


Hugo






Monday, July 18, 2011

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

"Satuan pendidikan bertaraf internasional merupakan
satuan pendidikan yang telah memenuhi Standar
Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar
pendidikan negara maju."

(Peraturan Pemerintah No.17 Th. 2010 Bab VIII SATUAN PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL Pasal 143)


Pada beberapa waktu yang lalu, di beberapa media massa dimuat kabar mengenai adanya perbedaan pendapat mengenai jalannya satuan pendidikan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Pada dasarnya, apa yang diperdebatkan?
Untuk melihat lebih jernih, kira-kira ada beberapa poin yang diperdebatkan. Beberapa poin sebagai berikut:

1. Tidak mengakarkan suatu kurikulum yang jelas. Saya merasa tidak perlu kita mencari kambing hitam untuk membenarkan satu atau dua pihak. Kurikulum yang jelas ada saat ini adalah kurikulum nasional yang diberi label Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Menurut hemat saya, perjelas dulu aplikasi dari KTSP ini di setiap satuan pendidikan. Selain itu, perbekali juga para ujung tombak penjaga kebijakan pemerintahan, yaitu para pengawas sekolah untuk mendapatkan satu kata tentang isi dan pengejawantahannya dalam setiap satuan pendidikan. Kurikulum yang digunakan di banyak negara maju, sebenarnya secara isi tidak jauh berbeda satu sama lain. Tidak ada kurikulum yang buruk, yang ada adalah tidak maksimalnya kurikulum itu digunakan. Mari instropeksi diri kita, apakah KTSP dilakukan dengan benar atau kita hanya kejar materi pengajaran? Kurikulum kita hendak kita bawakan secara "content based" atau "inquiry based?"

2. Bahasa. Sekolah internasional dalam banyak benak orang Indonesia, adalah sekolah yang menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar. Bisa jadi benar tapi bisa jadi salah juga. Contoh nyata apabila hal itu dianggap benar adalah menjadikan bahasa ibu dianggap bahasa kelas dua. Semakin salah kaprah. Padahal yang benar, menurut hemat saya sekali lagi, adalah bahasa ibu tetap menjadi bahasa yang wajib dipelajari seimbang dengan bahasa asing lainnya. Bahasa ibu dipelajari dikelas dan digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Hanya saja, bahasa asing yang digunakan di sekolah juga diharapkan untuk menjadi bahasa pergaulan sehari-hari juga dengan catatan tanpa memaksakan hal tersebut kepada para perserta didik. Pada akhirnya, anak akan menjadi bilingual sejati dimana mereka berbahasa dengan baik dua bahasa yang dipelajari. Dua bahasa cukup. 

3. Peserta didik. Banyak anggapan bahwa peserta didik untuk RSBI adalah mereka yang berprestasi. Bagaimana dengan mereka yang tidak? sangat tidak adil apabila lingkungan (yang diharapkan) betul-betul internasional education dimana peserta didik mendapatkan pendidikan berwawasan internasional namun tidak melepaskan nuansa lokalnya, hanya untuk mereka yang dikategorikan "pintar" secara test dan nilai. Adilkah itu?

4. Dana Pendidikan. Karena salah kaprah sudah terlanjur terjadi, maka salah kaprah juga menjalar pada uang sekolah yang dikenakan. Semakin jauh dari harapan karena kualitas dan uang yang dikeluarkan tidak sepadan. Buah simalakama!

5. Pencapaian. Banyak pihak yang merasa pencapaian peserta didik dari RSBI tidak sesuai dengan labelnya. Namun sebenarnya, RSBI tidak perlu disalahkan juga karena akar dari pendiriannya juga belum kuat. Hal yang perlu diperbaiki adalah menata "rumah tangga" dahulu. 


Sejujurnya, banyak sekolah negeri maupun swasta yang berkeinginan untuk mendapatkan pengakuan secara langsung atau tidak langsung dengan kualitas pendidikan yang ditawarkan. Hanya saja, memang pemerintah perlu personil yang tegas dan luwes dalam melihat standar internasional sebagai suatu yang bukan "kulit luar" saja. Standar internasional bukan berarti para gurunya harus lulusan S-2 dan sering studi banding ke sekolah di luar negeri, melainkan bisa jadi guru lulusan S-1 dengan sertifikat pendidik dan terlebih penting mempunya hati untuk mendidik bukan melulu bekerja demi mengejar rupiah.

Selain itu, pemerintah juga perlu jujur melihat personil yang menjaga gawang klasifikasi sekolah seperti Sekolah Standar Nasional ataupun RSBI bahkan SBI. Ada banyak hal yang harus dikritisi namun juga perlu kebijaksanaan dalam melihat kesungguhan suatu satuan pendidikan dalam menmpersiapkan suatu standar internasional. 

Jujur, suatu perjalanan panjang untuk mencapai apa yang diinginkan. Namun saya percaya bahwa masih banyak satuan pendidikan baik negeri maupun swasta yang benar-benar ingin memajukan pendidikan di Indonesia ini. Mereka ingin memberikan pendidikan bertaraf internasional yang benar-benar mencakup internasionalisme dan kearifan lokal. Butuh kejelian mata baik mata hati maupun mata kepala kita semua.


salam,


Hugo

Friday, May 27, 2011

PENDIDIKAN, UNTUK SIAPA?

Judul  di atas bagi sebagian orang sudahlah jelas jawabannya.
Di kalimat ketiga dari artikel inipun, saya akan menjawabnya. Jawabannya adalah untuk anak-anak dan mereka yang selalu merasa butuh pendidikan.

Ketika anak-anak memulai jenjang pendidikan formal mereka, pembelajaran yang mereka terima benar-benar memberikan nuansa baru. Mereka mulai mengenal ada banyak hal yang mereka pelajari di rumah dan banyak hal baru yang mereka pelajari di sekolah. Mereka juga belajar tentang perbedaan pandangan yang bisa jadi mereka dapat dari rumah dan sekolah. Mereka belajar mendengar orang lain terlebih-lebih mendengar apa yang dikatakan guru - terkadang guru lebih didengar daripada orang tua mereka sendiri.

Begitu kuatnya pengaruh pendidikan yang diterima seorang anak dalam keluarga dan sekolahnya, hingga seringkali membekas dalam benaknya. Sayangnya, kita sebagai orang tua dan guru kurang menyadari bahwa kita adalah idola anak-anak kita. Karena ketidaksadaran tersebut, kita sering "menghancurkan" kekaguman mereka terhadap kita. Karena ketidaksadaran pulalah, kita sering juga menanggapi apa yang menjadi kebutuhan pendidikan anak kita terabaikan.

Pendidikan yang didapat anak-anak dari orang tua seperti kita akan membekas. Ketika kita tidak menerapkan aturan yang jelas dalam keluarga, maka anak-anak akan mengambil kesimpulan bahwa hidup itu lebih enak tanpa aturan. Sebaliknya, apabila hidup mereka banyak diatur mulai dari bangun pagi sampai tidur malam, maka mereka merasa aturan-aturan itu dibuat untuk membuat mereka yang mejalankannya sengsara. Serba salah? Tidak juga, asal kita mengerti apa yang harus kita lakukan dan posisi apa yang dirindukan oleh anak-anak kita.

Pendidikan untuk anak-anak pada masa sekarang sungguhlah sesuatu yang kita sendiri tidak bisa bayangkan pada masa kita mendapatka pendidikan untuk pertama kalinya. Begitu banyaknya campur tangan perkembangan teknologi terjadi dalam pendidikan anak di masa kini. Apa yang bisa kita lakukan? Hal terpenting yang bisa kita lakukan adalah menanamkan budi pekerti yang baik melalui contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Begitu menyadari bahwa pendidikan yang kita berikan sekarang adalah untuk anak-anak kita, maka sewajarnyalah kita menyadari juga bahwa kesederhanaan berpikir menjadi tumpuan dari budi pekerti. Anak akan dengan mudah membandingkan cara bertindak kita terhadap pengemis - misalnya - dengan nasehat yang diberikan oleh guru di sekolah. Anak bisa sangat kritis menegur orang tuanya apabila mengendarai kendaraan melebihi kecepatan dari rambu-rambu yang terpasang di pinggir jalan. Anak juga bisa menngingatkan orang tuanya untuk tidak melakukan hal-hal yang membuat mereka menjadi malu di depan teman-temannya - semisal mengantar mereka sampai ke depan gerbang sekolah dengan alasan mereka bisa berjalan sendiri beberapa meter sebelum gerbang sekolah.

Apapun yang kita berikan kepada anak-anak kita sebagai bagian dari pendidikan, akan membekas dalam kehidupan mereka di  masa depan. Apabila kita mendidik mereka untuk membeda-bedakan orang lain berdasarkan ukuran kekayaan, maka jangan heran apabila di kemudian hari, anak-anak kita tidak bisa menjadi survivor sejati ketika dibutuhkan. Jangan juga menyesal apabila sekarang kita secara tidak sadar mengajari mereka gaya hidup yang tidak sehat seperti membiarkan mereka melihat kebiasaan minum minuman beralkohol atau merokok. Mereka akan melakukan yang lebih parah dari apa yang orang tua lakukan. Maka tidak heran apabila kita mendengar ada beberapa pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri karena orang tuanya kaya, melakukan tindakan-tindakan konyol demi mencari "jati diri". Mengapa mereka berbuat begitu? karena orang tua mereka begitu permissive terhadap segala tindakan mereka. Menegur anaknya sendiri tidak berani, takut akan menyakiti hati mereka. Pemikiran dan tindakan yang keliru.

Kembali kepada judul artikel ini, marilah kita renungkan. Pendidikan itu untuk siapa? Jangan sampai kita melihat anak-anak kita di masa depan menjadi beban masyarakat. Selagi kita mampu, lakukan banyak hal yang membentuk karakter mereka menjadi manusia yang penuh kasih, kreatif , dan juga peka terhadap lingkungan sekaligus bertutur kata halus dan berpikir jernih.


salam,



Hugo

Monday, April 18, 2011

I WANT TO HAVE MY OWN SCHOOL

After some years in education, my heartstring tells me what I really need to have. Yes! I want to have my own school.
The story will not end up in a sentence. To be honest, I have had my own arrangement on the school's "software". 

Some of the items included in the "software" category are:

1. Curriculum
  The curriculum will be the national curriculum with some additional known as local material (muatan lokal). The curriculum will be delivered using the inquiry method. The curriculum will use national-content textbooks for the teachers only. Workbooks for the students will be provided.

2. ICT integration
   The use of Information and Communication Technology is not in the ICT lab. The school will put the use of ICT within the classroom. There will be no ICT teachers. The class teachers have to be ICT people. The teachers have to be able to think "beyond the future"

3. Teacher-Students-Parents-Teachers = Collaboration
    The learning process will be started from the classroom where the teachers and students have their interaction and students have collaboration among themselves. After the classroom process, then the parents and teachers will have communication through the learning management system portal developed by the school. At the end, the teachers will have a clear, thoroughly feedback from the students and parents displayed through the learning management system portal. It is very 21st century classroom without leaving the person-to-person touch-base. 

To be continued....

Sunday, March 27, 2011

MENCIPTAKAN SEKOLAH BERKARAKTER

Merujuk pada tulisan saya sebelumnya tentang "Sekolah Berkarakter", maka kali ini adalah satu jenjang lanjutan yang lebih terperinci.
Sebuah sekolah yang berkarakter adalah sebuah sekolah yang setiap komponennya setuju dengan karakter yang terbentuk dan juga berbesar hati untuk mengadakan perubahan demi dan hanya untuk pendidikan.

Pada dasarnya, untuk menciptakan sebuah sekolah berkarakter membutuhkan keyakinan, waktu dan ketulusan. Untuk memudahkan kita semua membaca tulisan ini, saya akan membaginya berdasarkan ketiga pilar utama yang tersebut di atas.

1. KEYAKINAN

Memiliki sebuah keyakinan adalah pilar mendasar. Keyakinan yang dimaksud bukanlah agama. Keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan pada apa yang sekolah ingin capai. Beberapa hal yang bisa dilihat dalam pilar keyakinan ini adalah kurikulum dan tenaga pendidik. Sebuah sekolah, baik itu dikelola oleh pemerintah maupun swasta, harus mempunyai keyakinan pada kurikulum dan tenaga pendidik yang mereka kelola. Memang dalam hal ini banyak hal yang harus dilihat lebih mendalam seperti kurikulum nasional yang sekarang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus dimaksimalkan pengelolaannya. Terus terang, kurikulum bukanlah suatu hal yang hanya membuat sekolah berorientasi pada target menyelesaikan buku paket melainkan pada kompetensi anak didik.

Kendala yang dihadapi oleh kurikulum nasional kita adalah desain output dari tiap jenjang satuan pendidikan. Apa yang disebut dengan output selalu berkaitan dengan quality control. Quality control selalu berkaitan dengan serangkaian tolok ukur yang harus dilewati para peserta didik untuk dikatakan menyelesaikan jenjang satuan pendidikan. Pada beberapa waktu yang lalu, passing grade untuk UN masih menjadi "momok". Tampaknya hal itu mulai dikurangi dengan adanya penghargaan pada pencapaian peserta didik yang tercatat pada laporan hasil belajar. Waktu mengubah semua itu!

Sebuah sekolah atau satuan pendidikan, haruslah mengakomodir kurikulum nasional dalam pengajaran yang 'istimewa'. Antar satuan pendidikan melakukan pengajaran yang berbeda sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Tenaga pendidik juga haruslah yakin pada kompetensi mereka. Sangat disayangkan apabila tenaga pendidik memilih karir sebagai seorang pendidik hanyalah semata-mata karena mereka tidak mendapatkan karir yang lain. Keyakinan untuk menjadi pendidik adalah suatu keyakinan yang menjadi suatu kebanggaan karena turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Tenaga pendidik juga harus memiliki keyakinan bahwa mereka harus terus berkembang karena ilmu yang ditularkan juga berkembang. Sangat disayangkan apabila seorang pendidik di abad 21 ini masih canggung dengan teknologi masa kini.

2. WAKTU

Mencapai suatu standar yang diidam-idamkan butuh waktu. Ketika kita semua sadar bahwa kita butuh waktu, maka semua komponen dalam sekolah juga harus mendukungnya. Pada umumnya, ketika semua komponen dalam satu sekolah belum sepakat pada yang namanya waktu, mereka akan cenderung saling membandingkan.

Waktu dibutuhkan setiap komponen sekolah. Seorang tenaga pendidik membutuhkan waktu untuk melihat, merencanakan dan mengevaluasi langkah-langkah pembelajarannya. Seorang siswa membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dirinya pada situasi pembelajaran dan lingkungan sekitarnya. Orang tua siswa juga membutuhkan waktu untuk menelaah sikap sekolah dalam rangka pembelajaran di kelas dan di luar kelas. Semuanya butuh waktu untuk mengerti.

Mengenal waktu berarti menghargai waktu. Menghargai waktu berarti memaklumkan proses. Memaklumkan proses berarti mengerti perbedaan waktu antar siswa yang merupakan individu unik. Kedewasaan intelegensi setiap siswa berbeda-beda. Orang dewasa terkadang lupa bahwa mereka pun pernah mengalaminya. Sering karena tidak memahami proses, siswa menjadi kambing hitam. Ketika di masa depan, siswa tadi menjadi "orang" maka berebutanlah semua orang dewasa mengklaim andilnya.

Mengenal waktu berarti juga mengenal target. Mengenal target berarti mempunyai tujuan pencapaian yang jelas. Mempunyai tujuan yang jelas berarti sebuah kesepakatan akan satu yang terbaik bagi semua.

Masih meragukan waktu?

3. KETULUSAN

Pilar terakhir adalah ketulusan. Ini adalah pilar yang paling sulit. Ketulusan teramat sulit untuk mempunyai sebuah tolok ukur. Namun demikian, bukanlah hal yang mustahil bukan?

Setiap satuan pendidikan harus mempunyai ketulusan terhadap peserta didik. Setiap peserta didik harus mempunyai ketulusan dalam menghidupi pengetahuan yang didapat. Setiap tenaga pendidik harus tulus membimbing peserta didik karena apabila ketulusan terlunturkan oleh banyak pamrih, maka pembelajaran akan menjadi satu rutinitas belaka yang menjemukan.

Ketulusan juga harus diciptakan satuan pendidikan terhadap masyarakat sekitar. Hal ini akan terlihat dengan kerjasama yang signifikan dan berkesinambungan. Apabila peserta didik diarahkan menghidupi pengetahuan yang didapat, maka sangat tidak mustahil apabila ada aksi tulus dari peserta didik terhadap masyarakat sekitar sebagai "buah" pengetahuan.

Para orang tua juga sangat diharapkan ketulusannya dalam membantu proses belajar mengajar. Sering kita temui bahwa satuan pendidikan dianggap sebagai sebuah "pabrik" dimana para orang tua hanya "menitipkan" anak-anak mereka untuk nantinya secara ajaib menjadi "barang jadi". Jangan kita nanti hanya menyesal tanpa tahu harus berbuat apa.


Ketiga pilar tadi tentu saja tidak hanya bagus untuk satuan pendidikan dan komponennya, melainkan bagus untuk sistem pendidikan di negara kita. Tentu saja, proses pemikiran seperti ini masihlah harus ditelaah dan diterjemahkan dalam langkah yang lebih konkrit. Namun saya percaya bahwa kita semua bisa dan generasi yang akan menggantikan generasi sekarang, akan segera berpikir dengan cepat untuk mengadakan perubahan menyeluruh.
Semoga!

salam,


Hugo

Monday, March 7, 2011

HOW THE INQUIRERS SHAPED - PARENTS GUIDE

An inquirer is the one who inquires for something. It is really that simple.
The students nowadays need to be inquirer on the knowledge they seek. The teachers as well need to be inquirers as the rapid growth of the knowledge. The parents moreover, need to be the first inquirers at home as the kids will ask them many questions in day to day basis.

The International Baccalaureate Organization where the Primary Years Programme came from, really wants to have all students to be the inquirers. In the IB-PYP handbook: A Basis for Practice (p.4), it is written that 
"Inquiry, interpreted in the broadest sense, is the process initiated by the student 
or the teacher that moves the student from his or her current level 
of understanding to a new and deeper level of understanding"

Obviously, the process in becoming the inquirer begins from the students and the teachers. However, the process actually begins from the family environment. Some people said,"It begins from the moms and dads". To be honest, I really agree that as parents, we hold the most important parts.

When the children ask "what's that daddy?", "Why does the flower have green leaves mom?", and many more questions involving WH questions, we need to answer the questions properly. The children will not be able to be a full inquirer when they hear the answer "well, the leaves have its color because God makes them so" or "you have asked too many questions today, so please be quiet". To connect the answer with God is good but surely God makes everything with logical reason that we also as adults can provide logical answers for our children. Avoiding questions will not make the happy and to be honest will not make us good parents as well.

Any IB schools dream - and yet been proven - to bear more inquirers. As parents, we dream to have our kids hold any language from different nations, master any knowledge they want to pursue, and be person for others. All of that dreams can happen. It all begins from us. Let's be inquirer from now on.


blessing,


Hugo

Monday, February 21, 2011

TMIS PYP EXHIBITION: DIGITAL NATIVES, DIGITAL REPORT

As an IB school, we need to see our students as the children of their decade. The students nowadays are the digital natives. They live their lives with the digital tools. They watch TV, listen to the radio, play PS games, have fun with their ipod, browse internet and many more activities.
Here in Tunas Muda International School, we so much aware on their needs during PYP exhibition. The students had been given a group website, where they can write their digital report on their research. It was not an easy thing to do in he beginning. However, as the digital natives, it took them only 30 minutes to get ready and on board with the websites given.
You may visit their websites under weebly. I do hope you will enjoy and learn a lot from the students. Here are the links:

The Radio











The Television










The Magazine











The Newspaper











The Multimedia












blessing,


Hugo

Sunday, February 20, 2011

PYP EXHIBITION 2011 TUNAS MUDA INTERNATIONAL SCHOOL

Hi there!

PYP Exhibition is something that PYP school is waiting for. This time, Tunas Muda International School had their PYP Exhibition on 10-11 February 2011.
The school had its PYP coordinator, Massy Sitompul, leading the exhibition together with grade 6 teacher, Shanti Aryani. The transdisciplinary theme was "How We Express Ourselves". The central ideas was "Media allows us to communicate and to share information, ideas and thoughts with others".
The exhibition itself had shown how grade 6 of TMIS really engaged themselves closely to the exhibition.
The visitors, including parents, were really impressed with the results. I do hope that you will feel the same as well. Enjoy the pictures!















Tuesday, January 11, 2011

TUNAS MUDA INTERNATIONAL SCHOOL (TMIS) for MERAPI & MENTAWAI

Here is the slides from our visit to Merapi refugees. The villages are Glagah Harjo and Kepuh Harjo. It is really a tribute to the refugees. Thanks to student council, Parents Association, teachers and staff and of course all students! Blessing!

Song "He Ain't Heavy He's My Brother" from The Hollies