Friday, July 23, 2010

BAHASA INDONESIA VS REMAJA INDONESIA

Setiap mengajar Bahasa Indonesia, saya selalu teringat kepada Ibu Camelia Sitanggang. Beliau adalah guru saya ketika di bangku SD kelas 3. Ingatan saya selalu melayang saat beliau mengajar kita membaca dengan benar. "Membaca itu seperti bernyanyi" terang beliau. Setiap titik dan koma yang kami baca, haruslah mendapatkan penekanan yang tepat. Setiap kosa kata, struktur bahasa dilihat dengan teliti. Hasilnya, semua anak memang berbahasa Indonesia dengan baik. Semua itu tak lepas juga dari dukungan orangtua yang juga mencoba berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya mulai mengajar, terasa perbedaan yang sangat mencolok. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh anak-anak abad 21 ini mulai meluruh. Dialek kedaerahan yang terlalu kuat, pengaruh teknologi pesan singkat /SMS (Short Message Service), bahasa-bahasa percakapan elektronik, bahasa pergaulan dan dialog-dialog sinema begitu kuat mempengaruhi anak-anak dan remaja Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Sering saya mendengar anak-anak mengucapkan, "secara", "makana", tanpa tahu makna dan penempatan pun mengganti "nya" menjadi "na". 

Beberapa penulis lagu juga turut andil mengacaukan Bahasa Indonesia. Penulisan lirik lagu yang menyingkat kata-kata demi tepatnya not-not dilagukan menjadi sebab musababnya. Mungkin kita semua sering mendengar kata "beri" disingkat menjadi "bri", "pelita" menjadi "p'lita", "selalu" menjadi "slalu" dan banyak lagi. Mungkin saat ini belum begitu terasa, namun dampaknya akan terlihat dengan pasti kurang dari 10 tahun ke depan. 

Kacaunya, banyak orangtua di abad 21 ini berlagak pilon, bahkan lebih parah lagi berlagak sok tahu. Orangtua seperti ini lebih suka anaknya belajar bahasa asing. Alhasil, mereka membiarkan saja skil Bahasa Indonesia anak-anak mereka menurun bahkan menyalahkan sekolah. Lebih penting berkomunikasi dengan anak menggunakan Bahasa Inggris atau Mandarin karena banyak yang percaya bahwa semakin dini usia anak mempelajari kedua bahasa tersebut, semakin baik. Padahal, ketika anak mereka beranjak dewasa, anak-anak ini akan menjadi penutur-penutur bahasa yang tanggung karena semua bahasa yang mereka pelajari tidak ada yang matang. Atau, kalaupun mereka bisa memiliki kematangan dalam skil kebahasaan, hanya satu bahasa yang kuat. Parahnya adalah ketika Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka, tidak sebagus bahasa asing yang mereka kuasai. Salah siapa?

Saya berharap, kita semua berkaca pada diri kita masing-masing. Akankah kita membiarkan anak-anak kita di masa depan mempekerjakan orang lain hanya untuk menterjemahkan bahasa ibu mereka? Keputusan ada di tangan kita masing-masing.

salam,

Hugo




Wednesday, July 21, 2010

TUNAS MUDA INTERNATIONAL SCHOOL (TMIS)

It's been a while for me leaving Tunas Muda International School (TMIS). This year, I make my decision to work closely with TMIS.
TMIS or well-known as Tunas Muda has two sites. One is at Kedoya and the other one is at Meruya. Currently, I'm working at Meruya site (as actually I want to work only in this site :) ).

TMIS has its uniqueness.  It's offering international standard education while the feeling of being a national school is quiet tasty. The school works closely with the International Baccalaureate programs: PYP, MYP and DP. However, the school also applies the national curriculum within its learning process.
As a 100 percent Indonesian (I do not have double nationalities), I feel that TMIS has made a lot of encouragement to its students to be proud as Indonesian. Every Monday, all students  wear white and red uniform (Primary), white and blue (Junior High School) and white and gray (High School). All the days aside Monday, the students wear batik uniform showing how the school really appreciate the local genius product and heritage. For international students, this atmosphere surely will bring the same feeling having proud of their own countries.

The next posts of this blog will mainly about what happens within the school. I hope you will enjoy it.



Hugo