Tuesday, May 22, 2012

PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU (PLPG)

Hallo, apa kabar semuanya?

Setelah sekian lama, kembali saya menulis dalam Bahasa Indonesia. Tulisan ini, saya dedikasikan buat teman-teman Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2012 Rayon Universitas Negeri Jakarta, khususnya yang berlokasi di Graha Insan Cita, kelas C1/ 0001, dan juga untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menyelenggarakannya. Satu ekspresi untuk semua hal yang saya dapat: Terima kasih!

Ketika mendengar kata sertifikasi, sebagai ujung pangkal dari PLPG ini, saya dengan yakin berbisik pada diri sendiri bahwa ini pastilah satu simpul kegelisahan pemerintah - dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - untuk meningkatkan kualitas pendidikan negeri ini. Seperti amanat dalam pembukaan UUD 1945, dimana "mencerdaskan kehidupan bangsa" disebut dengan lantang, maka ujung tombak untuk itu pastilah pendidikan yang diterjemahkan dalam diri para guru. Lalu kesempatan itu datang pada diri saya pribadi dimana saya tidak kuasa menolaknya demi kemajuan personal dan bangsa.

Pendidikan dan Latihan Profesi Guru atau lebih populer melalui singkatannya PLPG, diperuntukan bagi para guru dengan tujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan penghargaan atas profesi yang mereka geluti. Banyak kekhawatiran yang ada dalam benak para guru ketika mengikuti PLPG ini. Salah satu ujung kekhawatiran tersebut adalah: lulus tidak saya nanti? Ada juga yang berpikir menuju penghargaan atas profesionalisme itu dengan UUD (ujung-ujungnya duit). Namun begitu, bagi saya pribadi, ketakutan dan UUD tadi tidak menjadi persoalan penting.

Persoalan terpenting dalam PLPG bagi saya adalah, "Apakah benar, para guru di Indonesia ini, khususnya angkatan saya, benar-benar guru-guru yang kurang atau bahkan tidak profesional?" Itu jawaban terpenting buat saya, terlepas dari temuan atau laporan yang didapatkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mengapa hal ini menjadi penting buat saya? Jawabannya bermuara ketika pemerintah mengumumkan hasil UKA (Uji Kompetensi Awal) dimana dikatakan skor rata-rata yang didapat sangat rendah. Sampai sejauh ini, saya sendiri tidak mendapatkan kabar, berapa skor saya ketika itu. Bisa jadi, saya adalah yang mendapatkan skor terendah, namun karena belas kasih pemerintah, diluluskan.

Persoalan terpenting tadi, pada akhirnya bermuara pada pertanyaan lain, "Apakah uji tertulis adalah satu tolok ukur yang tepat untuk mengatakan bahwa kualitas guru di Indonesia kurang bagus?". Pertanyaan itu juga menjadi satu pertanyaan mirip dengan yang satu ini, "Apakah hasil UN yang rendah menandakan bahwa kemampuan guru yang mengajar berarti sangat minim?" Lalu, pertanyaan itu juga menjadi mirip dengan asumsi ketika para guru kelas 6 dan 9 melakukan test diagnostik, "Kalau gurunya dapat nilai jelek pada test diagnostik, apalagi muridnya."

Hal yang patut kita ingat ketika hendak memajukan pendidikan di negara ini adalah, sumber daya manusia tidak hanya diukur dari beberapa lembar kertas tes. Penilaian layak tidaknya seorang menjadi guru sepatutnya dikukur dari banyak sudut dimana salah satunya adalah tes tertulis. Bisa jadi seorang calon guru memiliki nilai tinggi dalam tes tertulis, tetapi sama sekali tidak memiliki kepribadian seorang guru, tidak memiliki kemampuan sosial, kemampuan mendidik dan juga  profesionalitas. Bagaimanapun, seorang guru harus bisa berdiri di atas semua kriteria. Pada kenyataannya, sangat sulit mendapatkan seorang guru yang mengatasi semua empat kriteria kompetensi tersebut. Tidaklah jauh kita mencari contoh, saya menilai diri saya sendiri: Secara kepribadian, profesionalitas, pedagogik dan sosial, saya yakin saya mampu. Namun, saya memiliki kriteria menurut penilaian saya pribadi. Nah, ketika kriteria saya dibenturkan dengan apa yang diminta oleh pemerintah, kemungkinan besar ada ketidaksesuaian. Bagaimana membuat titik temunya?

Melihat teman-teman di kelas PLPG, maka saya menggolongkan para guru menjadi dua mainstream. Keduanya bukanlah mainstream yang buruk melainkan satu kekurangan dan kelebihan.
Kelompok pertama: Guru yang mempunyai paradigma untuk berubah dengan ketidakpedulian akan keadaan mereka secara pribadi.
Kelompok kedua: Guru yang mempunyai paradigma untuk berubah namun terbentur keadaan mereka secara pribadi.
Apa perbedaanya?

Kelompok pertama merupakan guru yang memilih profesi guru tanpa berpikir untung dan rugi. Semua waktu mereka curahkan untuk mendidik. Seringkali mereka bahkan mengorbankan waktu untuk keluarga mereka demi idealisme. Kelompok ini juga tidak peduli apakah pemerintah memperhatikan kesejahteraan mereka atau tidak, yang terpenting adalah misi mereka sebagai pendidik terlaksana. Apakah pemerintah tahu hal ini? Bagaimana menengarainya?

Kelompok kedua merupakan guru yang memilih profesi guru tanpa berpikir untung dan rugi pada awalnya. Namun seiring waktu, pengorbanan yang mereka lakukan tidak ada yang memperhatikan. Sementara itu, kebutuhan pribadi semakin mendesak, idealisme terongrong. Kelompok ini mengharapkan ada perhatian khusus dari pemerintah untuk kesejahteraan guru. Kelompok ini, baik guru negeri maupun swasta, menjadi dimarjinalkan dan dilorot derajatnya sebagai seorang guru. Apakah pemerintah tahu hal ini? Bagaimana mengatasinya?

PLPG adalah satu solusi bagus untuk peningkatan profesionalisme guru. Embel-embel penghargaan yang didapat setelah PLPG tentunya adalah hal wajar untuk mengangkat kualitas guru secara ekonomi. Namun demikian, apabila PLPG hanya berhenti sampai pada tahap ini, alangkah disayangkan. Buat saya pribadi, PLPG adalah pantas untuk dijadikan sebuah alat untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas guru. Oleh karenanya, PLPG sebaiknya ditingkatkan menjadi satu pelatihan reguler yang diatur tingkatannya menjadi tingkat dasar, lanjutan dan spesialisasi. Tingkat dasar untuk para guru yang baru terjun dalam profesi guru. Tingkat lanjutan diperuntukan bagi para guru yang ingin meningkatkan profesionalitas, pengetahuan pedagogik dan ilmu keguruan. Sementara tingkatan spesialisasi diperuntukkan bagi guru yang ingin meningkatkan kemampuan mendidik yang lebih spesifik. 

Melihat teman-teman PLPG yang berada di kelas yang sama, maka saya bisa mengatakan bahwa guru-guru di Indonesia memang harus lebih banyak saling belajar. PLPG bisa menjadi ajang saling belajar baik dari akademisi seperti pengajar dari Universitas Negeri Jakarta, maupun para pemerhati pendidikan. Kekuatan mereka yang di depan kelas anak-anak  bisa disinergikan dengan mereka yang  berada di depan kelas dewasa. Kenapa tidak? Banyak ide yang saya dapatkan dari para guru yang berada di kelas PLPG. Mereka semua adalah guru dengan idealisme dan kemampuan mengajar yang baik. Oleh karenanya, pemarjinalan melalui nilai UKA sangatlah kurang bijaksana. Menurut anda?


salam,


Hugo