Wednesday, November 10, 2010

LANGUAGE EXPECTATION

The internationalism has been a trend currently. People want to be still considered local while they also want to be part of international world. One way among many ways in embracing internationalism is to have fluency in some "world languages". 

The languages that people have desire to master are English, France, Latin and Chinese. Besides those four languages, people will automatically master their own mother tongue. In some countries, people can have two mother tongues. Thus, if they learn two other world languages, then these people would be mastering four languages during their lives. 

To be able to use some languages with good standard of fluency must be a great achievement. Some people find it easy as they are language naturalists; some find it hard. 
The rapid changes of world's global economy encourages people to put language as an asset. There are any language courses are established to meet the need of language learners. There are many adults and kids register and learn within language courses. 

Some schools that also want to embrace the internationalism apply certain language policy that they believe will enhance the language skill of their students. However, some schools have made themselves as "risk-taker" by applying "three-languages policy". The expectation is that students at the end of schooling will be able to use three languages in their lives. 

The big question now is whether the students will master the three languages fluently or they will have one language mastered while other languages are just a failure?

Learning a language, I believe must be started with strengthening the mother tongue of a student. Once the mother tongue is established both in school and home, then the students will be able to master another language easily. Another support is that if a family wants the kids want to master two languages, then the family must also exposed every member of family with the correct use of the two languages. What about three languages? I really think that three languages is way too much.

Now, it goes back to school and family policy then.

Thursday, November 4, 2010

Sunday, October 31, 2010

SEKOLAH BERKARAKTER

Tulisan saya sebelumnya yaitu "Membangun Sekolah Berkarakter" belum banyak berbicara mengenai aksi nyata.
Pada tulisan kali ini, saya akan bicara tentang apa itu sekolah berkarakter.

Untuk tidak membuat kesalahpahaman, saya akan dengan jujur menyatakan bahwa semua sekolah mempunyai karakter. Tidak ada sekolah dibentuk tanpa karakter jelas. Karakter sekolah akan menjadi lebih jelas apabila komponen sekolah mengolahnya dengan benar dan terus menjadikan karakter yang hendak dibentuk itu sebagai suatu "nafas" yang benar-benar dihembuskan ke setiap anggota sekolah.

Sekolah berkarakter akan saya bagi menjadi 3. Pertama adalah sekolah berkarakter berdasarkan kultur yang dianut. Kedua adalah sekolah berkarakter berdasarkan kesepakatan anggota sekolah. Ketiga adalah sekolah berkarakter berdasarkan evaluasi.

1. Sekolah berkarakter berdasarkan kultur. Sekolah semacam ini, pada umumnya mempunyai keterkaitan dengan religi, adat-istiadat atau kurikulum tertentu. Banyak sekolah yang berpandangan bahwa nuansa religi yang dibawakan dalam pengajaran di kelas akan membentuk karakter sekolah (termasuk para pembelajarnya) dengan corak tertentu. Semuanya adalah benar belaka; banyak sekolah dengan latar belakang religi yang membuktikan kebenaran ini terlihat dari alumni-alumni sekolah semacam ini. Sekolah dengan kurikulum tertentu juga mengalami hal yang sama. Kurikulum yang dianut oleh sekolah, baik itu kurikulum nasional maupun kurikulum manapun, akan membentuk karakter sekolah. Hanya saja, untuk sekolah yang mencoba membentuk karakter melalui kurikulum, perlu disadari bahwa kurikulum yang dianut haruslah dilakukan dengan semaksimal mungkin. Hal ini dimaksudkan agar karakter tersebut bukan hanya sekedar "tempelan" belaka.
Hanya saja, patut ditengarai bahwa para pembelajar perlu juga diberi wawasan pengenalan akan sekolah dengan karakter yang lain.

2. Sekolah berkarakter berdasarkan kesepakatan anggota sekolah. Untuk sekolah yang memutuskan untuk duduk bersama dan memutuskan karakter seperti apa yang sekolah akan bawakan, tentunya karakter yang akan dibawa adalah yang terbaik. Beberapa sekolah - tentu saja bersama yayasan yang menaungi - telah melakukan hal ini. Namun jujur saja, manajemen sekolah dan yayasan yang lebih banyak memberikan dasar. Sekolah-sekolah yang memutuskan karakter bersama ini lebih cenderung menjadikan sebuah sekolah "eksklusif" dengan tujuan yang baik. Sering sekali sekolah semacam ini melibatkan para pembelajar dalam lingkungan model pamong alias pembimbing. Sekolah-sekolah yang menerapkan kehidupan siswa di sebuah asrama sekolah dapat dikategorikan  sebagai sekolah dengan karakter berdasarkan kesepakatan anggota sekolah (selama religi dan kurikulum bukanlah menjadi yang utama).

3. Sekolah berkarakter berdasarkan evaluasi. Sekolah semacam ini lebih melihat karakter mereka sebagai suatu karakter yang berkembang. Mengapa demikian? ada jangka waktu terterntu yang disepakati yayasan dan sekolah untuk mengevaluasi dan menganalisa karakter yang telah dikembangkan selama beberapa tahun penerapan. Pada umumnya, komponen sekolah yang akan sedikit "bingung" adalah orangtua. Mengapa? karena apabila perubahan yang diambil berdasarkan evaluasi adalah sangat mendasar, maka orangtua akan bereaksi lebih pada khawatir. Pada kenyataannya, sekolah telah memperhitungkannya dengan sangat berhati-hati. Sekolah semacam ini dapat ditemui pada masa sekarang ini dimana banyak sekolah mencoba menjadi bagian dari industri pendidikan. Sekolah semacam ini akan berusaha mencoba melihat mana yang "terbaik" menurut pandangan masyarakat dalam konteks pasar mereka. Maka jangan heran apabila banyak bermunculan jargon-jargon menarik untuk menjaring lebih banyak pembelajar masuk sekolah semacam ini.

Sekali lagi, semua sekolah di atas adalah baik. Semuanya tergantung dari kita sendiri untuk menyikapinya.

salam,


Hugo

Saturday, October 30, 2010

SEKOLAH IMPIANKU

Teman-teman yang baik, yang telah dengan setia membaca blog ini.
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk merefleksikan 12 tahun karir saya dalam dunia pendidikan. Dalam refleksi saya itu, tiba-tiba saya menuliskan sebuah deretan kata yang berbunyi "sekolah ideal bagi saya". Jelas-jelas, dalam refleksi itu, saya memimpikan sebuah sekolah 'ala' diri saya ini.
Langsung saja dengan impian saya itu, ya!

1. Sekolah yang merupakan sekolah non-denominasi alias sekolah yang menerima semua siswa dengan latar belakang reliji, warna kulit dan banyak perbedaan lain secara terbuka.

2. Sekolah yang mempergunakan kurikulum nasional (Indonesia) seutuhnya dengan  penyampaian yang tidak berbasis pada pemahaman isi terlebih dahulu, melainkan pemahaman konsep.

3. Sekolah yang mengedepankan kerjasama dengan komunitas sekitar dalam radius 3-5 km dari sekolah.

4. Sekolah yang memberikan muatan teknologi secara tepat waktu dan tepat pada waktunya

5. Sekolah yang menerima guru berdasarkan kemampuan mengajar yang baik, panggilan hidup sebagai guru dan karakter guru yang adalah "people's person" alias guru yang memihak pada kepentingan bersama.

6. Sekolah yang memberikan penghargaan kepada guru dengan baik secara finansial dan penghargaan dalam bentuk apapun termasuk training pengembangan diri dan keilmuan.

7. Sekolah yang menempatkan orangtua sebagai teman dalam mengembangkan kemampuan siswa menurut bakat dan minat siswa, bukan bakat dan minat orangtua.

8. Sekolah yang memberikan kegiatan ekstra-kurikuler dinamis dimana siswa harus memilih yang memberikan keseimbangan antara kemampuan fisik dan pikiran.

9. Sekolah dengan gedung yang biasa namun bersih dan menghasilkan yang luar biasa.

10. Sekolah yang mempromosikan internasionalisme dalam kesetaraan dimana warna kulit bukan menjadi jaminan pengajaran yang baik dan benar.

11. Sekolah yang membatasi pengajaran bahasa di dalam kurikulumnya: Bahasa Ibu dan bahasa asing 'lingua franca' yang telah dipergunakan di seluruh dunia.

12. Sekolah yang pengajaran di dalamnya tidak terkekang oleh tembok kelas terus menerus.

Itulah tadi kriteria sekolah impian saya. Bagaimana dengan anda?

salam.


Hugo

Saturday, October 23, 2010

PANDUAN MEMILIH SEKOLAH BAGI ORANG TUA

Di jaman sekarang ini, banyak orang tua yang berpikir bahwa pendidikan adalah "investasi" masa depan buat anak-anak mereka. Tidak salah juga pemikiran itu. 
Di banyak kota besar, orang tua berusaha mendapatkan sekolah yang "terbaik" buat anak-anak mereka. Beberapa waktu yang lalu, secara iseng saya bertanya pada beberapa orang tua yang saya temui. Pertanyaan pertama adalah: Sekolah seperti apa yang diinginkan oleh para orang tua? jawabannya bervariasi seperti: 1) sekolah yang disiplin  2) sekolah yang berbahasa asing  3) sekolah yang banyak prestasinya  4) sekolah yang guru-gurunya "care" terhadap siswa-siswinya  5) sekolah yang maju "teknologinya"  6) sekolah dengan "program" terbaik.

Dalam hati saya berpikir "hebat sekali para orang tua ini. Belum menyekolahkan anaknya saja, mereka sudah memiliki rencana yang matang untuk membuat anak mereka "jago" di masa depan.
Salah seorang dari beberapa orang tua tersebut mengungkapkan keinginannya bahwa sejak dini ia ingin anaknya belajar di sekolah yang mengedepankan semangat "global". "Bahasa sangat penting dipelajari sejak dini. Makanya, saya mencari sekolah yang menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, Bahasa Indonesia tetap diajarkan, plus ada Bahasa Mandarin sebagai bahasa global kedua setelah Bahasa Inggris di masa depan". Wah, hebat sekali!

Sayang sekali, orang tua semacam ini tidak melihat dirinya sendiri dan melihat anaknya. Apa yan kita harapkan dari anak kita? mampu segalanya tanpa melihat bahwa itu adalah beban bagi mereka karena ekspetasi kita? Masuk ke sebuah sekolah dengan penerapan dua bahasa saja sudah lebih dari cukup buat anak-anak kita. Bahasa ketiga di satu sekolah? pastilah hanya untuk memuaskan pasar dan jelas tidak akan pernah memuaskan anak secara batiniah.

Sekolah yang disiplin. Menurut hemat saya, semua sekolah mempunyai tingkat kedisiplinan masing-masing sesuai kultur sekolah tersebut. Apabila anak dianggap nakal oleh orang tua dan dari kacamata orang tua, sekolah tidak bisa mendisiplinkan anak mereka, berarti kegagalan pertama ada pada orang tua. Sekolah adalah kegagalan pelengkap dari kegagalan orang tua mendidik anak pola disiplin sejak dini dan sekolah juga menjadi "kambing hitam" dari kegagalan orang tua. 

Sekolah yang banyak prestasinya. Prestasi akademik? prestasi non-akademik. Apabila sekolah itu hanya mementingkan prestasi akademik, jelaslah itu bukan sekolah yang baik. Sekolah seperti itu mematikan jiwa kreativitas seorang anak. Sekolah seperti itu hanya mau menerima mereka yang pada dasarnya memang "pintar". Sekolah ini adalah tipe sekolah "pilih kasih". Namun, apabila sekolah itu hanya mementingkan prestasi non-akademik, perlu dipertimbangkan juga mengapa sekolah itu tidak menjadi sekolah kejuruan saja.

Sekolah yang guru-gurunya "care" terhadap semua siswa-siswinya. Apakah anak-anak kita begitu hausnya untuk mendapatkan perhatian dari semua guru?  Menurut hemat saya, seorang guru memperhatikan siswa-siswinya adalah suatu hal yang wajar. Jadi, pada dasarnya kalau orang tua mendapatkan guru tidak "care" terhadap anak-anak, bisa jadi guru itu memang tidak mempunyai jiwa guru, atau orang tua yang terlalu "meminta".

Sekolah yang maju teknologinya. Apabila anda adalah orang tua yang memang selalu up to date dengan perkembangan teknologi dan anak-anak anda juga menyukainya, sekolah semacam ini cocok buat anda. Namun begitu, lihat juga apakah sekolah yang mempromosikan diri sebagai sekolah berteknologi tersebut memang benar-benar serius, atau sekedar slogan dagang saja. Orang tua harus benar-benar sadar diri dan menyesuaikan lahir batin dengan sekolah yang benar-benar berbasis teknologi.

Sekolah dengan program yang baik. Sering saya dibenturkan pada pertanyaan dari orang tua "menurut bapak, program A dan program B, mana yang lebih baik?" Jawaban saya adalah, " terserah bapak. Bapak mau yang mana itu kan uang anda. Menurut hemat saya, bapak harus benar-benar mengenali karakter putra-putri bapak dan sesuaikan dengan program tersebut, sesuai atau tidak. Selanjutnya, biar anak mencoba dulu, jadi bapak tahu apakah prediksi bapak benar atau tidak". Jawaban saya ini sering membuat orang tua jengah. Mereka mungkin berharap saya akan menjelekkan program yang sekolah saya tidak gunaka. Maaf, saya bukan orang yang berjualan program. 

Perlu tidak sih anak saya diperiksa psikolog. Perlu, kalau anda sebagai orang tua memang melihat ketidakwajaran dalam tingkah laku anak. Apabila tidak ada yang perlu dikhawatirkan - anda harus jujur - maka psikolog hanya akan menambah beban pembiayaan anda saja. 

Selamat merenung dan menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak dan masa depan mereka!

salam,


Hugo

Saturday, October 16, 2010

Shifting Portfolio to e-Portfolio

My presentation at ANPS Teachers Conference, October 16, 2010, Sekolah Tiara Bangsa (ACS) Jakarta.
Some online resources:
http://sites.google.com/site/eportfolioapps/overview/levels
http://www.aare.edu.au/02pap/woo02363.htm
Digital Portfolios: Fact or Fashion
By Helen Woodward and Phil Nanlohy
University of Western Sydney. Australia
h.woodward@uws.edu.au
p.nanlohy@uws.edu.au

Friday, October 8, 2010

SHIFTING PORTFOLIO TO e-PORTFOLIO

"An e-portfolio is a learner-driven collection of digital objects demonstrating experiences, achievements and evidence of learning. E-portfolios provide learners with a structured way of recording their learning experiences and work history. E-portfolios can be developed quickly and easily in the workplace to capture live evidence through the use of mobile phones and point-of-view devices, and can include a range of digital evidence such as audio, video, photographs and blogs". (http://www.flexiblelearning.net.au/content/e-portfolios-4)


To be honest, what happen to your kid portfolio after been taken home? There are some possibilities. You might make a special cupboard to put all your kid stuffs. In contrary, you might not make any special place. The portfolio will go anywhere within his or her bedroom. One day, you will see the portfolios have been becoming a problem because there are no more space within the bedroom or worse, they look like rubbish. No other way then to make them disappear. 


Shifting portfolio to e-portfolio has been a real need in this 21st century learning. Recording the students achievement using audio, video, photographs, blogs will be great evidences for parents. Another important thing is how e-portfolio is accessible at anytime, anywhere and for anyone (as long as they have username and password - it s strongly suggested that e-portfolio with website based must be password protected).


If you wish your school using e-portfolio, you may apply within your school websites (you need to make sure that your school server is big enough and has static IP) or having free websites such as google docs, moodle, or weebly. Parents need to be informed clearly on the use of e-portfolio.

This e-Portfolio will be staying in website and also burned into CD. After copied into CD, you can make any number of copies as you wish.Yes, you will not be able to touch the real thing, however, you have the evidence and memory of what your kid have done in their learning process. Therefore, we make a step a head to digital form in the making of portfolio.  Let's shift our mind into the 21st century reality!



(some parts of this post taken from my school e-portfolio)


blessing,


Hugo

Saturday, August 14, 2010

MOMMY GOES TO SCHOOL

Grade 1 TMIS,

"It must be nice to see our parents coming to school everyday". That idea comes from one of grade 1 students at TMIS. Well, I agree with that student.

Last week, Ibu Juliana, one of parents in grade 1 came to the classroom. She was invited by the grade 1 teacher, Ms. Puspa. The aim of her presence is to share her story about her daughter's activities from the morning until night.

She brought some pictures, books and other stuffs. She was really kind to tell her daughter's activities. There were many questions from students. Ibu Juliana was really happy to see how active and attentive the students were. Some of grade 1 students even asked when their mommies could come and shared stories. Soon!


blessing,

Hugo

(for safety issue, the pictures have been removed)


MEASURING OURSELVES

Grade 4 TMIS

"What is happening in front of teachers' room?". I went outside my room. I was wondering myself when I saw Ms. Tashya, grade 4 teacher, used tape measure to her students. 
I stood next to the crowd. Listening to their conversation was all I could do. 
Aha! after several minutes listening to their discussion, I started to understand. 
Grade 4 learned how to use tape measure. They measure the length of their body parts. "That tells me" I talked to myself. It was interesting to see they did the activity outside their classroom as the could refer their findings by looking at the soft-board outside their classroom where they put their display about skeleton. All right boys and girls..carry on!

blessing,

Hugo


(for safety issue, the pictures have been removed)



MEMBANGUN SEKOLAH BERKARAKTER

Sudah banyak teacher gathering yang diadakan, namun yang satu ini lain daripada yang lain. Teacher gathering yang bagiamana, sih? Saya akan tulis secara singkat teacher gathering yang satu ini.

Hari Sabtu yang cerah tanggal 14 Agustus, di salah satu meeting hall hotel Menara Peninsula, para guru seluruh Jabodetabek berkumpul. Acara yang disponsori oleh PT Datascrip ini memang didedikasikan untuk para guru. Sebagai pembicara, seorang praktisi yang berkecimpung dalam pengembangan karakter anak yaitu Ibu Supra Wimbarti, Msc., P.Hd.

Acara teacher gathering yang diberi tajuk "Membentuk Sekolah Berkarakter" ini terbilang sangat sukses menarik animo guru. Dalam acara ini, guru diajak untuk bertukar pikiran, dan berbagi pengalaman mereka. Harus diakui dalam mencapai tajuk yang dibicarakan, haruslah para ujung tombak yang ikut bicara. Ibu Supra begitu tenang mengalir memandu para peserta untuk menggali lebih dalam tentang apa itu sekolah yang berkarakter dan bagaimana mencapainya. Tak diragukan lagi, beliau memang menguasai konsep-konsep yang harus dicapai sebuah sekolah untuk menjadi sekolah yang berkarakter.

Acara yang berlangsung dari pukul 09.00 tepat dan berakhir pada pukul 15.00 tepat ini dipandu oleh MC Franky. MC ini cukup heboh dan terlihat mempunyai ketertarikan pada dunia pendidikan. Oleh karenanya, acara terpandu olehnya dengan baik. Salah satu pihak yang tak mungkin tak tersebut adalah event organizer acara ini yaitu Goodwill EO. Even sebesar ini terjalin rapi dan kontak yang terjalin begitu kuat, ketepatan waktu begitu terjaga. 

Semoga akan ada acara lanjutan dari acara yang bermanfaat ini. Salam!


Hugo

Wednesday, August 4, 2010

NUTRITION FACTS LABEL AND MATH

Grade 5L Tunas Muda International School (TMIS)

I had a chance to go upstairs and visited grade 5L. I was wondering why some of the students sitting down on the floor. Then I found out that they were making a chart. However, it was not the chart only that coming into my interest. I saw some of them holding cans and bottles.

Looking closely at the chart, I got the picture of what they were doing. They observed the nutrition facts labels on the cans and bottles. It was interesting because they started to count the nutrition they got when they consumed the food and drink.

They also learned how their body needed to consume  nutrition. They counted the contain of  nutrition and the need for their body. Well, I will go straight forward to the pictures and let you all inspired with your own creativity. Enjoy!


blessing,

Hugo




Friday, July 23, 2010

BAHASA INDONESIA VS REMAJA INDONESIA

Setiap mengajar Bahasa Indonesia, saya selalu teringat kepada Ibu Camelia Sitanggang. Beliau adalah guru saya ketika di bangku SD kelas 3. Ingatan saya selalu melayang saat beliau mengajar kita membaca dengan benar. "Membaca itu seperti bernyanyi" terang beliau. Setiap titik dan koma yang kami baca, haruslah mendapatkan penekanan yang tepat. Setiap kosa kata, struktur bahasa dilihat dengan teliti. Hasilnya, semua anak memang berbahasa Indonesia dengan baik. Semua itu tak lepas juga dari dukungan orangtua yang juga mencoba berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya mulai mengajar, terasa perbedaan yang sangat mencolok. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh anak-anak abad 21 ini mulai meluruh. Dialek kedaerahan yang terlalu kuat, pengaruh teknologi pesan singkat /SMS (Short Message Service), bahasa-bahasa percakapan elektronik, bahasa pergaulan dan dialog-dialog sinema begitu kuat mempengaruhi anak-anak dan remaja Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Sering saya mendengar anak-anak mengucapkan, "secara", "makana", tanpa tahu makna dan penempatan pun mengganti "nya" menjadi "na". 

Beberapa penulis lagu juga turut andil mengacaukan Bahasa Indonesia. Penulisan lirik lagu yang menyingkat kata-kata demi tepatnya not-not dilagukan menjadi sebab musababnya. Mungkin kita semua sering mendengar kata "beri" disingkat menjadi "bri", "pelita" menjadi "p'lita", "selalu" menjadi "slalu" dan banyak lagi. Mungkin saat ini belum begitu terasa, namun dampaknya akan terlihat dengan pasti kurang dari 10 tahun ke depan. 

Kacaunya, banyak orangtua di abad 21 ini berlagak pilon, bahkan lebih parah lagi berlagak sok tahu. Orangtua seperti ini lebih suka anaknya belajar bahasa asing. Alhasil, mereka membiarkan saja skil Bahasa Indonesia anak-anak mereka menurun bahkan menyalahkan sekolah. Lebih penting berkomunikasi dengan anak menggunakan Bahasa Inggris atau Mandarin karena banyak yang percaya bahwa semakin dini usia anak mempelajari kedua bahasa tersebut, semakin baik. Padahal, ketika anak mereka beranjak dewasa, anak-anak ini akan menjadi penutur-penutur bahasa yang tanggung karena semua bahasa yang mereka pelajari tidak ada yang matang. Atau, kalaupun mereka bisa memiliki kematangan dalam skil kebahasaan, hanya satu bahasa yang kuat. Parahnya adalah ketika Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka, tidak sebagus bahasa asing yang mereka kuasai. Salah siapa?

Saya berharap, kita semua berkaca pada diri kita masing-masing. Akankah kita membiarkan anak-anak kita di masa depan mempekerjakan orang lain hanya untuk menterjemahkan bahasa ibu mereka? Keputusan ada di tangan kita masing-masing.

salam,

Hugo




Wednesday, July 21, 2010

TUNAS MUDA INTERNATIONAL SCHOOL (TMIS)

It's been a while for me leaving Tunas Muda International School (TMIS). This year, I make my decision to work closely with TMIS.
TMIS or well-known as Tunas Muda has two sites. One is at Kedoya and the other one is at Meruya. Currently, I'm working at Meruya site (as actually I want to work only in this site :) ).

TMIS has its uniqueness.  It's offering international standard education while the feeling of being a national school is quiet tasty. The school works closely with the International Baccalaureate programs: PYP, MYP and DP. However, the school also applies the national curriculum within its learning process.
As a 100 percent Indonesian (I do not have double nationalities), I feel that TMIS has made a lot of encouragement to its students to be proud as Indonesian. Every Monday, all students  wear white and red uniform (Primary), white and blue (Junior High School) and white and gray (High School). All the days aside Monday, the students wear batik uniform showing how the school really appreciate the local genius product and heritage. For international students, this atmosphere surely will bring the same feeling having proud of their own countries.

The next posts of this blog will mainly about what happens within the school. I hope you will enjoy it.



Hugo


Tuesday, June 1, 2010

SWA PYP EXHIBITION 2010 (BOOTH PICTURES)

Hello!

As I told you before about our exhibition, now I am going to show you some pictures on the preparation day. It was one day before the exhibition where the students prepared their display (that had been prepared a week before), and their booth. Of course, all booths were not perfectly ready. Some artifacts were not yet displayed. Enjoy the pictures and hope you will have inspiration.

blessing,


Hugo
















Tuesday, May 4, 2010

MAKING RUBRIC

Many times as a teacher, we can't give a score to what the students are doing. Mostly, we feel awkward in giving score when the assessment is project-based one. We know what the students need to do and achieve, however, scoring band won't help. At this stage, a rubric is really needed.

I know that for some of us, making rubric is a new thing. Let's learn from a very interesting website specially working with rubrics. The website name is Rubistar.  Here is the link!

Make sure you really go this page.


















Do I have to register? Well, you don't have to. There are some templates provided according to the topic you need. However, it is recommended for you to register, if you want to make a specific rubric for your class.

Okay then, I hope you are going to produce million of rubrics to help you and your project-based assessment. Have a go!


blessing,

Hugo

Monday, April 12, 2010

MENGAJAR ITU ANUGERAH DAN PANGGILAN JIWA

Beberapa guru yang saya temui telah mengajar bertahun-tahun. Mereka sangat bangga dengan tahun-tahun mengajar mereka. Kebanggaan itu semakin terungkap manakala ada beberapa mantan muridnya yang menjadi "orang". Beberapa dari mereka dengan bangga menyebut bahwa si A yang menadi walikota kota anu adalah mantan muridnya di kelas 3 SMP, atau si B yang menjadi penyanyi terkenal itu dulu murid dia di kelas 3 SD. "Wah, padahal dulu itu suaranya fales banget!" celetuknya.

Saya sangat kagum dengan mereka yang bisa bertahan bertahun-tahun menjadi pengajar. Banyak dari mereka yang secara ekonomi terseok-seok manakala gaji yang mereka terima dari jaman dahulu sampai sekarang hanya sampai pada level "pas" atau bahkan "kurang" dan menjadi banyak "hutang". Ada juga yang sukses karena mempunyai usaha lain atau mengolah kemampuan mengajarnya dengan mengajar les privat atau menulis buku. Semuanya bertahan dengan kemampuan dan daya kreasinya masing-masing. 

Mengajar itu anugerah dan panggilan jiwa, hal itu dikatakan oleh ibu saya yang dulu adalah seorang guru juga. Mengapa anugerah? lihat saja mereka yang mengajar bertahun-tahun dan tetap setia. Bagi mereka, kemampuan mengajar itu suatu anugerah yang tidak semua orang mendapatkannya. Banyak orang mengatakan bahwa mengajar butuh kesabaran bahkan terkadang keiklhasan untuk merogoh kocek pribadi. 

Mengajar itu panggilan jiwa. Benar juga! Seorang dokter yang sukses dengan karirnya, merasa ada yang kurang dalam dirinya. Ia senang berbicara dengan pasiennya, menerangkan banyak hal tentang penyakit yang diderita oleh pasiennya dan meyakinkan mereka bahwa semua dapat dilewati dengan baik. Suatu ketika, ada tawaran untuk mengajar mahasiswa kedokteran dari seorang teman dokter yang hendak cuti mengajar. Saat sang dokter ada di depan kelas, ia merasa suatu hal yang berbeda terjadi pada dirinya. Mengajar adalah panggilan jiwanya. Alhasil, selain praktek sebagai dokter handal, dia juga dikenal sebagai pengajar yang mumpuni. Mahasiswa-mahasiswinya sangat kehilangan sosoknya ketika jenazahnya dikebumikan.

Ada satu pertanyaan menggelitik, apakah cukup menyadari bahwa mengajar itu anugerah dan panggilan jiwa? Saya rasa tidak. Seekor burung tidak dilihat dari berapa tahun ia terbang, tapi bagaimana ia terbang. Seorang guru tidak hanya dilihat dari berapa lama ia mengajar, tetapi bagaimana ia mengajar. Percuma mengajar bertahun-tahun lamanya apabila cara mengajarnya hanya dari itu ke itu saja. Semangat dalam penhajaran hanya menjadi rutinitas. Harus diingat bahwa  menularkan ilmu adalah sebuah seni yang hanya bisa dikatakan dan kemudian dikerjakan dengan hati lalu seni itu baru bisa dirasakan oleh orang lain. Mengajar adalah sebuah hubungan batin antara guru dan muridnya. Seorang guru bisa saja menjadi guru "killer" namun dirindukan pengajarannya oleh murid-muridnya. Seorang guru harus bisa membuat suasana "mulur" (rileks) dan "mungkret" (disiplin). Seorang guru harus bisa menjadi inspirasi bagi murid-muridnya.

Bagaimana dengan kita para pengajar?

salam,

Hugo

PS: Terima kasih buat para guru SD-ku di SDN Kesdam IV Diponegoro dan SDN Siliwangi II Semarang. Kalian telah menjadi inspirasiku!

Monday, March 1, 2010

MICROSOFT EXCEL AND MATHS

Graphs, Chance and Data. That was the title written in my Maths Scope and Sequence. Well, what is that? 

I found that the idea of using Microsoft Excel was not a new thing at all. However, to my grade 5 students, it was like a new thing for them. After having the bar graphs in their maths book ( as the result of their "mini survey"), in a sudden I asked them to open their laptop and transferred one of their graphs using the program. It was funny when they really paid attention because they wanted to make the most different look compared to their friends'. 

It was amazing to see how grade 5 students tried to explore many different kind of graphs style. At this stage, I only will share this really brief story. The next step, I will have the screen capture of what the students have made.  
Here is the screen capture from one of my students. Great job!

blessing,

Hugo