Sunday, March 27, 2011

MENCIPTAKAN SEKOLAH BERKARAKTER

Merujuk pada tulisan saya sebelumnya tentang "Sekolah Berkarakter", maka kali ini adalah satu jenjang lanjutan yang lebih terperinci.
Sebuah sekolah yang berkarakter adalah sebuah sekolah yang setiap komponennya setuju dengan karakter yang terbentuk dan juga berbesar hati untuk mengadakan perubahan demi dan hanya untuk pendidikan.

Pada dasarnya, untuk menciptakan sebuah sekolah berkarakter membutuhkan keyakinan, waktu dan ketulusan. Untuk memudahkan kita semua membaca tulisan ini, saya akan membaginya berdasarkan ketiga pilar utama yang tersebut di atas.

1. KEYAKINAN

Memiliki sebuah keyakinan adalah pilar mendasar. Keyakinan yang dimaksud bukanlah agama. Keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan pada apa yang sekolah ingin capai. Beberapa hal yang bisa dilihat dalam pilar keyakinan ini adalah kurikulum dan tenaga pendidik. Sebuah sekolah, baik itu dikelola oleh pemerintah maupun swasta, harus mempunyai keyakinan pada kurikulum dan tenaga pendidik yang mereka kelola. Memang dalam hal ini banyak hal yang harus dilihat lebih mendalam seperti kurikulum nasional yang sekarang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus dimaksimalkan pengelolaannya. Terus terang, kurikulum bukanlah suatu hal yang hanya membuat sekolah berorientasi pada target menyelesaikan buku paket melainkan pada kompetensi anak didik.

Kendala yang dihadapi oleh kurikulum nasional kita adalah desain output dari tiap jenjang satuan pendidikan. Apa yang disebut dengan output selalu berkaitan dengan quality control. Quality control selalu berkaitan dengan serangkaian tolok ukur yang harus dilewati para peserta didik untuk dikatakan menyelesaikan jenjang satuan pendidikan. Pada beberapa waktu yang lalu, passing grade untuk UN masih menjadi "momok". Tampaknya hal itu mulai dikurangi dengan adanya penghargaan pada pencapaian peserta didik yang tercatat pada laporan hasil belajar. Waktu mengubah semua itu!

Sebuah sekolah atau satuan pendidikan, haruslah mengakomodir kurikulum nasional dalam pengajaran yang 'istimewa'. Antar satuan pendidikan melakukan pengajaran yang berbeda sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Tenaga pendidik juga haruslah yakin pada kompetensi mereka. Sangat disayangkan apabila tenaga pendidik memilih karir sebagai seorang pendidik hanyalah semata-mata karena mereka tidak mendapatkan karir yang lain. Keyakinan untuk menjadi pendidik adalah suatu keyakinan yang menjadi suatu kebanggaan karena turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Tenaga pendidik juga harus memiliki keyakinan bahwa mereka harus terus berkembang karena ilmu yang ditularkan juga berkembang. Sangat disayangkan apabila seorang pendidik di abad 21 ini masih canggung dengan teknologi masa kini.

2. WAKTU

Mencapai suatu standar yang diidam-idamkan butuh waktu. Ketika kita semua sadar bahwa kita butuh waktu, maka semua komponen dalam sekolah juga harus mendukungnya. Pada umumnya, ketika semua komponen dalam satu sekolah belum sepakat pada yang namanya waktu, mereka akan cenderung saling membandingkan.

Waktu dibutuhkan setiap komponen sekolah. Seorang tenaga pendidik membutuhkan waktu untuk melihat, merencanakan dan mengevaluasi langkah-langkah pembelajarannya. Seorang siswa membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dirinya pada situasi pembelajaran dan lingkungan sekitarnya. Orang tua siswa juga membutuhkan waktu untuk menelaah sikap sekolah dalam rangka pembelajaran di kelas dan di luar kelas. Semuanya butuh waktu untuk mengerti.

Mengenal waktu berarti menghargai waktu. Menghargai waktu berarti memaklumkan proses. Memaklumkan proses berarti mengerti perbedaan waktu antar siswa yang merupakan individu unik. Kedewasaan intelegensi setiap siswa berbeda-beda. Orang dewasa terkadang lupa bahwa mereka pun pernah mengalaminya. Sering karena tidak memahami proses, siswa menjadi kambing hitam. Ketika di masa depan, siswa tadi menjadi "orang" maka berebutanlah semua orang dewasa mengklaim andilnya.

Mengenal waktu berarti juga mengenal target. Mengenal target berarti mempunyai tujuan pencapaian yang jelas. Mempunyai tujuan yang jelas berarti sebuah kesepakatan akan satu yang terbaik bagi semua.

Masih meragukan waktu?

3. KETULUSAN

Pilar terakhir adalah ketulusan. Ini adalah pilar yang paling sulit. Ketulusan teramat sulit untuk mempunyai sebuah tolok ukur. Namun demikian, bukanlah hal yang mustahil bukan?

Setiap satuan pendidikan harus mempunyai ketulusan terhadap peserta didik. Setiap peserta didik harus mempunyai ketulusan dalam menghidupi pengetahuan yang didapat. Setiap tenaga pendidik harus tulus membimbing peserta didik karena apabila ketulusan terlunturkan oleh banyak pamrih, maka pembelajaran akan menjadi satu rutinitas belaka yang menjemukan.

Ketulusan juga harus diciptakan satuan pendidikan terhadap masyarakat sekitar. Hal ini akan terlihat dengan kerjasama yang signifikan dan berkesinambungan. Apabila peserta didik diarahkan menghidupi pengetahuan yang didapat, maka sangat tidak mustahil apabila ada aksi tulus dari peserta didik terhadap masyarakat sekitar sebagai "buah" pengetahuan.

Para orang tua juga sangat diharapkan ketulusannya dalam membantu proses belajar mengajar. Sering kita temui bahwa satuan pendidikan dianggap sebagai sebuah "pabrik" dimana para orang tua hanya "menitipkan" anak-anak mereka untuk nantinya secara ajaib menjadi "barang jadi". Jangan kita nanti hanya menyesal tanpa tahu harus berbuat apa.


Ketiga pilar tadi tentu saja tidak hanya bagus untuk satuan pendidikan dan komponennya, melainkan bagus untuk sistem pendidikan di negara kita. Tentu saja, proses pemikiran seperti ini masihlah harus ditelaah dan diterjemahkan dalam langkah yang lebih konkrit. Namun saya percaya bahwa kita semua bisa dan generasi yang akan menggantikan generasi sekarang, akan segera berpikir dengan cepat untuk mengadakan perubahan menyeluruh.
Semoga!

salam,


Hugo

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.